Bab 7. Konsepsi Demokratis dalam Pendidikan
(Dewey, 2004: 81-99)
Karena pendidikan itu merupakan suatu fungsi sosial di
mana generasi yang baru diikutsertakan dalam hidup masyarakat, jiwa, materi dan
metode pendidikan akan berbeda dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang
lainnya. Masyarakat yang berubah dan yang menganggap bahwa perubahan itu
sendiri sangat perlu untuk dapat menjamin perkembangannya secara kontinyu,
tentu akan memiliki standard dan metode pendidikan yang berbeda dengan
masyarakat yang hanya ingin melanggengkan tradisi dan kebiasaan-kebiasaannya.
Di sini Dewey memaparkan 3 model masyarakat dan pendidikannya yang dibandingkan
dengan masyarakat yang demokratis.
1. Implikasi interaksi sosial
Dewey ingin memperlihatkan bahwa kata masyarakat (society) itu bersifat mendua karena
memiliki arti normatif tetapi juga deskriptif, dan memiliki arti de jure tetapi juga arti de facto. Secara normatif dan de jure masyarakat dipandang sebagai
satu kesatuan yang lebih menekankan tujuan luhur, loyalitas pada tujuan
bersama, dan rasa hormat satu dengan yang lainnya. Sebaliknya kalau masyarakat
dipandang secara deskriptif dan de facto
yang ditemukan adalah pluralitas kelompok-kelompok kecil di dalamnya yang
masing-masing sangat berbeda dari sisi baik atau buruk. Di dalamnya terdapat
beragam kelompok bandit, kelompok bisnis, kelompok politik dst.
Dalam beragam kelompok Dewey melihat bahwa masing-masing
disatukan oleh beberapa minat yang kurang lebih sama yang memungkinkan
terjadinya interaksi dan kerjasama dalam kelompok itu. Ada 2 kriteria yang dikemukakan Dewey untuk menilai suatu kelompok.
a.
Seberapa banyak dan bervariasi minat yang menjadi
perhatian bersama yang memungkinkan masing-masing saling memberi dan menerima?
b. Sejauh mana masing-masing anggota
bebas menjalin relasi dengan kelompok lain?
Dalam suatu
kelompok kriminal dapat dilihat mungkin ada beberapa minat, tetapi minat-minat
itu bisa dikategorikan dalam 1 minat saja, yaitu mencuri. Di samping itu
kelompok ini akan sangat terisolasi dan tidak bebas dalam berinteraksi dengan
kelompok-kelompok masyarakat yang lainnya. Stimulus dan respons yang terjadi
dalam kelompok itu sangatlah berat sebelah. Di situ tidak ada kesempatan yang
sederajad bagi masing-masing anggota untuk saling memberi dan menerima.
Dewey juga
menggolongkan masyarakat yang ditata oleh pemerintahan otoriter yang menindas
sebagai kelompok yang terbatas variasi minat dan relasi bebas dengan berbagai
kelompok lain. Dewey menyitir Plato yang mendefinisikan seorang budak sebagai
orang yang menerima arahan dari orang lain yang mengontrol perilakunya. Situasi
yang sama juga terjadi meski tanpa ada perbudakan eksplisit kalau orang bekerja
di masyarakat tanpa memahami artinya dan tanpa memiliki minat pribadi. Bahkan
berbagai kelompok masyarakat primitif cenderung memandang kelompok asing
sebagai musuh. Demikian juga efisiensi dalam dunia produksi mudah membuat orang
bekerja dalam rutinitas mekanis belaka tanpa minat dan motivasi. Dalam kelompok
atau masyarakat seperti ini kalau ada pendidikan, pendidikan yang terjadi di
dalamnya bisa dipastikan hanya parsial dan timpang.
Dalam
keluarga yang normal terdapat beragam minat: material, intelektual atau
estetis. Di samping itu masing-masing anggota cukup bebas untuk berinteraksi
dengan berbagai kelompok lain seperti sekolah, kelompok bisnis, kelompok budaya
dst. Di sini terdapat beragam minat yang memungkinkan masing-masing anggota
dapat saling memberi dan menerima, serta adanya berbagai kemungkinan kontak
yang bebas dengan berbagai kelompok sosial yang lain. Keragaman stimulus dan
respons dapat menstimulasi perkembangan intelektual yang positif.
Keanekaragaman stimulus memungkinkan masing-masing anggota menerima berbagai
hal yang baru. Berbagai hal yang baru berarti stimulus efektif yang menantang
daya pikir (sebaliknya semakin pikiran dibatasi hanya pada beberapa stimulus,
semakin pikiran terbatas pada rutinitas saja, sehingga mudah mandul, tidak
terarah, dan asal-asalan).
Yang mau
ditekankan Dewey adalah bahwa semakin suatu model kelompok atau masyarakat
menutup diri dan membatasi diri pada idealisme dan kepentingan sendiri yang
tidak memungkinkan terjadinya interaksi bebas dengan berbagai kelompok sosial
lain semakin hidup intelektual dan emosionalnya tidak berkembang. Model semacam
itu bisa ditemukan pada level negara atau bangsa, golongan (yang dipisahkan
atas dasar kaya-miskin, terpelajar-tak terpelajar dsm), keluarga, ataupun
sekolah. Perkembangan hidup intelektual dan emosional sangat ditentukan oleh
perluasan relasi dengan berbagai kelompok sosial yang lain. Demikian juga
perkembangan peradaban manusia sangat ditentukan oleh semakin dihapuskannya
sekat-sekat sosial apa pun juga sehingga memungkinkan manusia dengan berbagai
latar belakang semakin dekat satu dengan yang lain. Di situ kemungkinan untuk
belajar dari yang lain dan perluasan horizon hidup semakin terbuka lebar.
2. Ideal demokratis
Di atas sudah dikemukakan 2 kriteria untuk menilai apakah suatu kelompok itu demokratis.
a.
Kriteria pertama bukan hanya mengacu pada semakin banyak
dan bervariasinya minat bersama, tetapi juga semakin dihargainya minat-minat
itu secara timbal balik.
b.
Kriteria kedua mengacu pada interaksi yang lebih bebas
antar berbagai kelompok sosial, tetapi juga perubahan kebiasaan, yaitu
kebiasaan untuk menyesuaikan diri secara kontinyu terhadap situasi-situasi baru
akibat interaksi yang beragam.
Kalau 2 kriteria ini terdapat
dalam suatu kelompok, kelompok itu disebut Dewey sebagai kelompok yang demokratis.
Demokrasi itu bukan
melulu mengacu pada suatu bentuk pemerintahan, tetapi pertama-tama merupakan
suatu cara hidup bersama di mana masing-masing anggota saling membagikan dan
memberikan pengalaman secara merdeka. Dengan itu sekat-sekat kelas, ras dan
negara dirobohkan. Keragaman interaksi sosial yang terjadi membuat semakin
terciptanya keragaman stimuli yang mesti direspons oleh masing-masing individu.
Di situ variasi dan keanekaragaman dijunjung tinggi. Hanya dalam kondisi yang demokratis seperti inilah seluruh potensi
masing-masing individu dapat berkembang secara maksimal dan pada gilirannya
masyarakat secara keseluruhan dapat semakin berkembang.
Konsepsi demokratis inilah yang semestinya menjadi dasar
bagi pendidikan. Masyarakat yang terbagi-bagi dalam kelas-kelas sosial yang
eksklusif perlu memperbaharui model pendidikan mereka. Sementara masyarakat
yang sangat dinamis di mana terjadi begitu banyak perubahan akibat
bervariasinya relasi sosial semestinya mendidik generasi muda mereka untuk
mengembangkan inisiatif pribadi dan kemampuan adaptasi dengan suasana baru,
supaya mereka tidak bingung menghadapi berbagai perubahan.
Tiga bagian di bawah ini merupakan evaluasi Dewey
terhadap tiga model teori pendidikan yang sangat menentukan perkembangan
masyarakat pada 3 jaman yang berbeda.
3. Filsafat pendidikan Plato
Bagi Plato suatu masyarakat akan tertata dengan baik jika
masing-masing individu bertindak sesuai dengan bakat alaminya sedemikian rupa
sehingga apa yang ia lakukan itu berguna bagi yang lain atau bagi masyarakat
secara keseluruhan. Untuk itu pendidikan bertugas menemukan bakat-bakat itu dan
melatihnya sebaik mungkin agar berguna bagi kepentingan masyarakat.
Titik pijak Plato adalah bahwa pengorganisasian
masyarakat tergantung pada pengetahuan akan tujuan hidup. Kalau kita tidak tahu
tujuan hidup, kita akan mudah diombang-ambingkan oleh berbagai perubahan dan
peristiwa, karena kita tidak memiliki kriteria untuk membuat keputusan secara
rasional guna menentukan kemungkinan-kemungkinan seperti apa yang harus
diusahakan untuk dicapai dan bagaimana masyarakat harus dikelola. Dalam
kenyataan tidaklah mudah untuk mengetahui tujuan hidup yang tidak lain adalah
kebaikan tertinggi dan permanen itu, karena kita gampang tertipu oleh berbagai
penilaian dan perspektif yang palsu. Karena pendidikan itu dibentuk dengan
pola-pola institusi, kebiasaan dan hukum suatu masyarakat, hanya dalam negara
yang adillah pendidikan yang benar dapat dilakukan. Demikian juga hanya
orang-orang yang terdidik secara benar inilah yang dapat mengetahui tujuan
hidup itu dan bagaimana masyarakat mesti diatur. Dengan itu kita seakan
terperangkap dalam lingkaran setan.
Plato
menunjukkan jalan keluar. Hanya sedikit orang saja yaitu para filsuf yang
mengetahui pola-pola kehidupan ini sekurang-kurangnya secara garis besar. Hanya
pemerintahan yang kuat yang dipimpin oleh orang yang mengetahui pola-pola kehidupan
ini yang akhirnya dapat membuat masyarakat itu baik. Kalau masyarakatnya baik
pendidikannya juga akan baik sehingga bakat-bakat khas masing-masing individu
dapat ditemukan dan metode yang benar untuk mengembangkannya bisa dijalankan.
Akhirnya kesatuan masyarakat secara keseluruhan dapat dipertahankan kalau
masing-masing mengerjakan sesuatu sesuai bakatnya tanpa saling mencampuri.
Dewey
mengajukan kritik atas konsepsi Plato itu. Meskipun Plato menekankan bahwa
martabat individu semestinya tidak ditentukan oleh kelahiran, kekayaan maupun
status tetapi dari bakat-bakat individu yang ditemukan dalam proses pendidikan,
ia tidak memiliki gambaran mengenai keunikan masing-masing individu. Sebaliknya
Plato malah membagi masyarakat hanya dalam 3 kelas, yaitu (1) kelas pekerja dan
pedagang (bagi kelas ini selera begitu menentukan dan kelas ini menyediakan
kebutuhan sehari-hari masyarakat), (2) kelas prajurit yang menjadi pembela
negara di saat perang dan menjaga ketenteraman di saat damai (kelas ini sudah
mendapatkan pendidikan tetapi akal budi mereka belum dapat mencapai pengetahuan
tertinggi tentang tujuan hidup), dan (3) kelas yang mampu mengerti pengetahuan
tertinggi ini sehingga menjadi pembuat aturan dan perundangan negara. Dengan
demikian bakat masing-masing individu pun hanya digunakan sebatas 3 kelas
sosial itu.
Demikian
juga gagasan Plato tentang kebaikan tertinggi itu juga bersifat statis.
Realitas sesungguhnya baginya itu realitas yang tidak berubah, dan
keanekaragaman dan perubahan itu bukanlah realitas yang sesungguhnya. Tentu
pandangannya ini berlawanan dengan keinginannya untuk mengubah masyarakat
secara radikal.
4. Ideal individu
pada abad ke-18
Dewey menunjuk Rousseau sebagai
tokoh dari abad ke-18. Rousseau mempertentangkan kodrat (nature) dengan masyarakat (culture).
Dengan latar belakang masyarakat feodal waktu itu Rousseau menganggap
masyarakat itu korup dan ia menemukan yang ideal dalam alam. Ada keanekaragaman
potensi kodrati yang dimiliki masing-masing individu dan pendidikan semestinya
mengembangkan potensi-potensi kodrati itu semaksimal mungkin. Tujuan
dan metode pendidikan harus sesuai dengan apa yang diajarkan oleh alam. Apa yang alami bagi Rousseau
bersifat non sosial bahkan anti sosial. Apa yang datang dari masyarakat itu
justru dianggap merusak apa yang alami dimiliki anak sejak lahir.
Menurut Dewey apa yang tampak anti
sosial dalam pemikiran Rousseau itu sebetulnya merupakan pendorong bagi
tumbuhnya masyarakat yang lebih luas dan bebas, yaitu kearah kosmopolitanisme.
Idealisme Rousseau adalah humanisme universal yang tidak terbatas pada negara
tertentu atau latar belakang sosial tertentu. Perkembangan potensi-potensi
individu justru dihambat dalam masyarakat politis tertentu karena hanya
digunakan untuk mengabdi kepentingan egois penguasa negara itu. Konsepsi
Rousseau itu sejajar dengan idealisme kesempurnaan individu yang tidak terbatas
yang nantinya menjadi pelaku bagi kemajuan masyarakat secara komprehensif.
Pengidealan alam oleh Rousseau ini
didukung oleh perkembangan dalam ilmu-ilmu alam. Penelitian yang bebas dari
prasangka dan kekangan negara telah menunjukkan bahwa alam memiliki
hukum-hukumnya sendiri. Penemuan tata surya menunjukkan bahwa hukum alam itu
sangat harmonis dan memperlihatkan keseimbangan. Hukum-hukum alam yang harmonis
ini juga dipercayai bisa diterapkan pada manusia asal manusia membebaskan diri
dari kekangan kepercayaan-kepercayaan palsu dari masyarakat. Untuk itu
pendidikan memegang peran sentral untuk merombak masyarakat.
Bagi Dewey masalah muncul karena
tidak jelasnya siapa pelaku yang semestinya mengarahkan pendidikan karena
semuanya dikembalikan pada alam saja.
5. Pendidikan
nasional dan sosial
Menyerahkan pendidikan sepenuhnya
pada alam bagi Dewey jelas bertentangan dengan gagasan dasar tentang perlunya pendidikan.
Dalam pendidikan jelas dibutuhkan metode tertentu, materi tertentu, dan
pendidik yang mesti menjalankan proses pendidikan. Dewey menunjuk Pestalozzi
sebagai pemikir yang mengatakan bahwa pencapaian idealisme pendidikan yang baru
secara efektif membutuhkan peran negara. Apa yang mau dicapai itu semestinya
tergantung pada apa yang mau dicapai oleh negara. Sekolah-sekolah mesti
dikelola secara nasional oleh negara. Menurut Dewey di bawah pengaruh Jerman
pendidikan dipandang sebagai suatu fungsi kenegaraan yang semestinya mewujudkan
idealisme negara bangsa (gerakan pendidikan nasionalistik ini merupakan bagian
dari gerakan politik nasional di Eropa). Pendidikan lalu dikelola bukan untuk
kemanusiaan universal, tetapi untuk kepentingan negara. Di situ pendidikan
bertujuan bukan untuk membentuk manusia sebagai manusia, tetapi sebagai warga
negara. Perubahan ini dilatarbelakangi oleh kekalahan Jerman oleh Napoleon.
Jerman di bawah pimpinan pemerintahan Prusia merasa perlunya perubahan
sistematis dalam pendidikan agar dapat mempertahankan integritas dan kekuasaan
politik berhadapan dengan negara-negara tetangga yang tidak selalu bersahabat.
Negara bukan sekedar menyediakan sarana-sarana yang perlu
untuk pendidikan tetapi juga menjadi tujuan pendidikan. Seluruh sistem sekolah
dari sekolah dasar sampai universitas mesti mempersiapkan warga negara dan
tentara yang patriotik, para pejabat dan administrator negara yang cakap, dan
memodernisasi pertahanan militer, industri dan politik. Pendidikan seperti ini
menekankan pentingnya efisiensi sosial demi tujuan negara.
Dewey melontarkan kritikannya di sini. Karena perlu
mempertahankan kedaulatan negara di hadapan negara-negara tetangga, diperlukan
ketaatan individu pada negara untuk mendukung superioritas negara dalam
pertahanan militer, perdagangan, dan efisiensi sosial. Tujuan nasional
dijadikan tujuan pendidikan. Individu disubordinasi di bawah institusi dan
kepentingan negara yang bersifat sempit dan eksklusif.[1]
Akibatnya, proses pendidikan lebih menekankan traning dengan disiplin ketat dan
bukan perkembangan individu.
[1] Di situ dikembangkan konsepsi tentang negara sebagai
satu kesatuan organik. Individu pada dirinya sendiri tidak ada artinya kecuali
ditempatkan di bawah kepentingan negara. Individu dituntut berkorban demi
kepentingan negara. Fichte dan Hegel mengembangkan gagasan bahwa fungsi utama
negara adalah mendidik. Regenerasi bangsa dicapai dengan pendidikan yang
diarahkan sesuai dengan kepentingan negara. Individu pada dirinya sendiri
cenderung egoistik, irasional, dan terkungkung oleh selera-selera pribadi dan
lingkungan sekitarnya, kecuali kalau ia menyerahkan kehendaknya di bawah
disiplin pendidikan yang dilaksanakan oleh negara. Jerman adalah negara pertama
yang menerapkan wajib belajar untuk semua anak dari sekolah dasar sampai
universitas dan yang mengawasi dan mengatur seluruh pendidikan swasta secara
ketat.
Post a Comment
Semua umpan balik saya hargai dan saya akan membalas pertanyaan yang menyangkut artikel di Blog ini sesegera mungkin.
1. Komentar SPAM akan dihapus segera setelah saya review
2. Jika ada Link Download rusak silahkan komentar dibawah ini
3. Jika Anda memiliki masalah silahkan bertanya di papan komentar
4. Silahkan menyertakan link artikel ini yang mau share ke blog Anda .