Sunday, July 6, 2014

Konsepsi Demokratis dalam Pendidikan (DEWEY)

Bab 7. Konsepsi Demokratis dalam Pendidikan
(Dewey, 2004: 81-99)

            Karena pendidikan itu merupakan suatu fungsi sosial di mana generasi yang baru diikutsertakan dalam hidup masyarakat, jiwa, materi dan metode pendidikan akan berbeda dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lainnya. Masyarakat yang berubah dan yang menganggap bahwa perubahan itu sendiri sangat perlu untuk dapat menjamin perkembangannya secara kontinyu, tentu akan memiliki standard dan metode pendidikan yang berbeda dengan masyarakat yang hanya ingin melanggengkan tradisi dan kebiasaan-kebiasaannya. Di sini Dewey memaparkan 3 model masyarakat dan pendidikannya yang dibandingkan dengan masyarakat yang demokratis.

1. Implikasi interaksi sosial
            Dewey ingin memperlihatkan bahwa kata masyarakat (society) itu bersifat mendua karena memiliki arti normatif tetapi juga deskriptif, dan memiliki arti de jure tetapi juga arti de facto. Secara normatif dan de jure masyarakat dipandang sebagai satu kesatuan yang lebih menekankan tujuan luhur, loyalitas pada tujuan bersama, dan rasa hormat satu dengan yang lainnya. Sebaliknya kalau masyarakat dipandang secara deskriptif dan de facto yang ditemukan adalah pluralitas kelompok-kelompok kecil di dalamnya yang masing-masing sangat berbeda dari sisi baik atau buruk. Di dalamnya terdapat beragam kelompok bandit, kelompok bisnis, kelompok politik dst.
            Dalam beragam kelompok Dewey melihat bahwa masing-masing disatukan oleh beberapa minat yang kurang lebih sama yang memungkinkan terjadinya interaksi dan kerjasama dalam kelompok itu. Ada 2 kriteria yang dikemukakan Dewey untuk menilai suatu kelompok.
a.       Seberapa banyak dan bervariasi minat yang menjadi perhatian bersama yang memungkinkan masing-masing saling memberi dan menerima?
b.      Sejauh mana masing-masing anggota bebas menjalin relasi dengan kelompok lain?

Dalam suatu kelompok kriminal dapat dilihat mungkin ada beberapa minat, tetapi minat-minat itu bisa dikategorikan dalam 1 minat saja, yaitu mencuri. Di samping itu kelompok ini akan sangat terisolasi dan tidak bebas dalam berinteraksi dengan kelompok-kelompok masyarakat yang lainnya. Stimulus dan respons yang terjadi dalam kelompok itu sangatlah berat sebelah. Di situ tidak ada kesempatan yang sederajad bagi masing-masing anggota untuk saling memberi dan menerima.
Dewey juga menggolongkan masyarakat yang ditata oleh pemerintahan otoriter yang menindas sebagai kelompok yang terbatas variasi minat dan relasi bebas dengan berbagai kelompok lain. Dewey menyitir Plato yang mendefinisikan seorang budak sebagai orang yang menerima arahan dari orang lain yang mengontrol perilakunya. Situasi yang sama juga terjadi meski tanpa ada perbudakan eksplisit kalau orang bekerja di masyarakat tanpa memahami artinya dan tanpa memiliki minat pribadi. Bahkan berbagai kelompok masyarakat primitif cenderung memandang kelompok asing sebagai musuh. Demikian juga efisiensi dalam dunia produksi mudah membuat orang bekerja dalam rutinitas mekanis belaka tanpa minat dan motivasi. Dalam kelompok atau masyarakat seperti ini kalau ada pendidikan, pendidikan yang terjadi di dalamnya bisa dipastikan hanya parsial dan timpang.
Dalam keluarga yang normal terdapat beragam minat: material, intelektual atau estetis. Di samping itu masing-masing anggota cukup bebas untuk berinteraksi dengan berbagai kelompok lain seperti sekolah, kelompok bisnis, kelompok budaya dst. Di sini terdapat beragam minat yang memungkinkan masing-masing anggota dapat saling memberi dan menerima, serta adanya berbagai kemungkinan kontak yang bebas dengan berbagai kelompok sosial yang lain. Keragaman stimulus dan respons dapat menstimulasi perkembangan intelektual yang positif. Keanekaragaman stimulus memungkinkan masing-masing anggota menerima berbagai hal yang baru. Berbagai hal yang baru berarti stimulus efektif yang menantang daya pikir (sebaliknya semakin pikiran dibatasi hanya pada beberapa stimulus, semakin pikiran terbatas pada rutinitas saja, sehingga mudah mandul, tidak terarah, dan asal-asalan).
Yang mau ditekankan Dewey adalah bahwa semakin suatu model kelompok atau masyarakat menutup diri dan membatasi diri pada idealisme dan kepentingan sendiri yang tidak memungkinkan terjadinya interaksi bebas dengan berbagai kelompok sosial lain semakin hidup intelektual dan emosionalnya tidak berkembang. Model semacam itu bisa ditemukan pada level negara atau bangsa, golongan (yang dipisahkan atas dasar kaya-miskin, terpelajar-tak terpelajar dsm), keluarga, ataupun sekolah. Perkembangan hidup intelektual dan emosional sangat ditentukan oleh perluasan relasi dengan berbagai kelompok sosial yang lain. Demikian juga perkembangan peradaban manusia sangat ditentukan oleh semakin dihapuskannya sekat-sekat sosial apa pun juga sehingga memungkinkan manusia dengan berbagai latar belakang semakin dekat satu dengan yang lain. Di situ kemungkinan untuk belajar dari yang lain dan perluasan horizon hidup semakin terbuka lebar.

2. Ideal demokratis
            Di atas sudah dikemukakan 2 kriteria untuk menilai apakah suatu kelompok itu demokratis.
a.       Kriteria pertama bukan hanya mengacu pada semakin banyak dan bervariasinya minat bersama, tetapi juga semakin dihargainya minat-minat itu secara timbal balik.
b.      Kriteria kedua mengacu pada interaksi yang lebih bebas antar berbagai kelompok sosial, tetapi juga perubahan kebiasaan, yaitu kebiasaan untuk menyesuaikan diri secara kontinyu terhadap situasi-situasi baru akibat interaksi yang beragam.
Kalau 2 kriteria ini terdapat dalam suatu kelompok, kelompok itu disebut Dewey sebagai kelompok yang demokratis.
            Demokrasi itu bukan melulu mengacu pada suatu bentuk pemerintahan, tetapi pertama-tama merupakan suatu cara hidup bersama di mana masing-masing anggota saling membagikan dan memberikan pengalaman secara merdeka. Dengan itu sekat-sekat kelas, ras dan negara dirobohkan. Keragaman interaksi sosial yang terjadi membuat semakin terciptanya keragaman stimuli yang mesti direspons oleh masing-masing individu. Di situ variasi dan keanekaragaman dijunjung tinggi. Hanya dalam kondisi yang demokratis seperti inilah seluruh potensi masing-masing individu dapat berkembang secara maksimal dan pada gilirannya masyarakat secara keseluruhan dapat semakin berkembang.
            Konsepsi demokratis inilah yang semestinya menjadi dasar bagi pendidikan. Masyarakat yang terbagi-bagi dalam kelas-kelas sosial yang eksklusif perlu memperbaharui model pendidikan mereka. Sementara masyarakat yang sangat dinamis di mana terjadi begitu banyak perubahan akibat bervariasinya relasi sosial semestinya mendidik generasi muda mereka untuk mengembangkan inisiatif pribadi dan kemampuan adaptasi dengan suasana baru, supaya mereka tidak bingung menghadapi berbagai perubahan.
            Tiga bagian di bawah ini merupakan evaluasi Dewey terhadap tiga model teori pendidikan yang sangat menentukan perkembangan masyarakat pada 3 jaman yang berbeda.

3. Filsafat pendidikan Plato
            Bagi Plato suatu masyarakat akan tertata dengan baik jika masing-masing individu bertindak sesuai dengan bakat alaminya sedemikian rupa sehingga apa yang ia lakukan itu berguna bagi yang lain atau bagi masyarakat secara keseluruhan. Untuk itu pendidikan bertugas menemukan bakat-bakat itu dan melatihnya sebaik mungkin agar berguna bagi kepentingan masyarakat.
            Titik pijak Plato adalah bahwa pengorganisasian masyarakat tergantung pada pengetahuan akan tujuan hidup. Kalau kita tidak tahu tujuan hidup, kita akan mudah diombang-ambingkan oleh berbagai perubahan dan peristiwa, karena kita tidak memiliki kriteria untuk membuat keputusan secara rasional guna menentukan kemungkinan-kemungkinan seperti apa yang harus diusahakan untuk dicapai dan bagaimana masyarakat harus dikelola. Dalam kenyataan tidaklah mudah untuk mengetahui tujuan hidup yang tidak lain adalah kebaikan tertinggi dan permanen itu, karena kita gampang tertipu oleh berbagai penilaian dan perspektif yang palsu. Karena pendidikan itu dibentuk dengan pola-pola institusi, kebiasaan dan hukum suatu masyarakat, hanya dalam negara yang adillah pendidikan yang benar dapat dilakukan. Demikian juga hanya orang-orang yang terdidik secara benar inilah yang dapat mengetahui tujuan hidup itu dan bagaimana masyarakat mesti diatur. Dengan itu kita seakan terperangkap dalam lingkaran setan.
Plato menunjukkan jalan keluar. Hanya sedikit orang saja yaitu para filsuf yang mengetahui pola-pola kehidupan ini sekurang-kurangnya secara garis besar. Hanya pemerintahan yang kuat yang dipimpin oleh orang yang mengetahui pola-pola kehidupan ini yang akhirnya dapat membuat masyarakat itu baik. Kalau masyarakatnya baik pendidikannya juga akan baik sehingga bakat-bakat khas masing-masing individu dapat ditemukan dan metode yang benar untuk mengembangkannya bisa dijalankan. Akhirnya kesatuan masyarakat secara keseluruhan dapat dipertahankan kalau masing-masing mengerjakan sesuatu sesuai bakatnya tanpa saling mencampuri.
Dewey mengajukan kritik atas konsepsi Plato itu. Meskipun Plato menekankan bahwa martabat individu semestinya tidak ditentukan oleh kelahiran, kekayaan maupun status tetapi dari bakat-bakat individu yang ditemukan dalam proses pendidikan, ia tidak memiliki gambaran mengenai keunikan masing-masing individu. Sebaliknya Plato malah membagi masyarakat hanya dalam 3 kelas, yaitu (1) kelas pekerja dan pedagang (bagi kelas ini selera begitu menentukan dan kelas ini menyediakan kebutuhan sehari-hari masyarakat), (2) kelas prajurit yang menjadi pembela negara di saat perang dan menjaga ketenteraman di saat damai (kelas ini sudah mendapatkan pendidikan tetapi akal budi mereka belum dapat mencapai pengetahuan tertinggi tentang tujuan hidup), dan (3) kelas yang mampu mengerti pengetahuan tertinggi ini sehingga menjadi pembuat aturan dan perundangan negara. Dengan demikian bakat masing-masing individu pun hanya digunakan sebatas 3 kelas sosial itu.
Demikian juga gagasan Plato tentang kebaikan tertinggi itu juga bersifat statis. Realitas sesungguhnya baginya itu realitas yang tidak berubah, dan keanekaragaman dan perubahan itu bukanlah realitas yang sesungguhnya. Tentu pandangannya ini berlawanan dengan keinginannya untuk mengubah masyarakat secara radikal.

4. Ideal individu pada abad ke-18
            Dewey menunjuk Rousseau sebagai tokoh dari abad ke-18. Rousseau mempertentangkan kodrat (nature) dengan masyarakat (culture). Dengan latar belakang masyarakat feodal waktu itu Rousseau menganggap masyarakat itu korup dan ia menemukan yang ideal dalam alam. Ada keanekaragaman potensi kodrati yang dimiliki masing-masing individu dan pendidikan semestinya mengembangkan potensi-potensi kodrati itu semaksimal mungkin. Tujuan dan metode pendidikan harus sesuai dengan apa yang diajarkan oleh alam. Apa yang alami bagi Rousseau bersifat non sosial bahkan anti sosial. Apa yang datang dari masyarakat itu justru dianggap merusak apa yang alami dimiliki anak sejak lahir.
            Menurut Dewey apa yang tampak anti sosial dalam pemikiran Rousseau itu sebetulnya merupakan pendorong bagi tumbuhnya masyarakat yang lebih luas dan bebas, yaitu kearah kosmopolitanisme. Idealisme Rousseau adalah humanisme universal yang tidak terbatas pada negara tertentu atau latar belakang sosial tertentu. Perkembangan potensi-potensi individu justru dihambat dalam masyarakat politis tertentu karena hanya digunakan untuk mengabdi kepentingan egois penguasa negara itu. Konsepsi Rousseau itu sejajar dengan idealisme kesempurnaan individu yang tidak terbatas yang nantinya menjadi pelaku bagi kemajuan masyarakat secara komprehensif.
            Pengidealan alam oleh Rousseau ini didukung oleh perkembangan dalam ilmu-ilmu alam. Penelitian yang bebas dari prasangka dan kekangan negara telah menunjukkan bahwa alam memiliki hukum-hukumnya sendiri. Penemuan tata surya menunjukkan bahwa hukum alam itu sangat harmonis dan memperlihatkan keseimbangan. Hukum-hukum alam yang harmonis ini juga dipercayai bisa diterapkan pada manusia asal manusia membebaskan diri dari kekangan kepercayaan-kepercayaan palsu dari masyarakat. Untuk itu pendidikan memegang peran sentral untuk merombak masyarakat.
Bagi Dewey masalah muncul karena tidak jelasnya siapa pelaku yang semestinya mengarahkan pendidikan karena semuanya dikembalikan pada alam saja.

5. Pendidikan nasional dan sosial
            Menyerahkan pendidikan sepenuhnya pada alam bagi Dewey jelas bertentangan dengan gagasan dasar tentang perlunya pendidikan. Dalam pendidikan jelas dibutuhkan metode tertentu, materi tertentu, dan pendidik yang mesti menjalankan proses pendidikan. Dewey menunjuk Pestalozzi sebagai pemikir yang mengatakan bahwa pencapaian idealisme pendidikan yang baru secara efektif membutuhkan peran negara. Apa yang mau dicapai itu semestinya tergantung pada apa yang mau dicapai oleh negara. Sekolah-sekolah mesti dikelola secara nasional oleh negara. Menurut Dewey di bawah pengaruh Jerman pendidikan dipandang sebagai suatu fungsi kenegaraan yang semestinya mewujudkan idealisme negara bangsa (gerakan pendidikan nasionalistik ini merupakan bagian dari gerakan politik nasional di Eropa). Pendidikan lalu dikelola bukan untuk kemanusiaan universal, tetapi untuk kepentingan negara. Di situ pendidikan bertujuan bukan untuk membentuk manusia sebagai manusia, tetapi sebagai warga negara. Perubahan ini dilatarbelakangi oleh kekalahan Jerman oleh Napoleon. Jerman di bawah pimpinan pemerintahan Prusia merasa perlunya perubahan sistematis dalam pendidikan agar dapat mempertahankan integritas dan kekuasaan politik berhadapan dengan negara-negara tetangga yang tidak selalu bersahabat.
            Negara bukan sekedar menyediakan sarana-sarana yang perlu untuk pendidikan tetapi juga menjadi tujuan pendidikan. Seluruh sistem sekolah dari sekolah dasar sampai universitas mesti mempersiapkan warga negara dan tentara yang patriotik, para pejabat dan administrator negara yang cakap, dan memodernisasi pertahanan militer, industri dan politik. Pendidikan seperti ini menekankan pentingnya efisiensi sosial demi tujuan negara.
            Dewey melontarkan kritikannya di sini. Karena perlu mempertahankan kedaulatan negara di hadapan negara-negara tetangga, diperlukan ketaatan individu pada negara untuk mendukung superioritas negara dalam pertahanan militer, perdagangan, dan efisiensi sosial. Tujuan nasional dijadikan tujuan pendidikan. Individu disubordinasi di bawah institusi dan kepentingan negara yang bersifat sempit dan eksklusif.[1] Akibatnya, proses pendidikan lebih menekankan traning dengan disiplin ketat dan bukan perkembangan individu.




[1] Di situ dikembangkan konsepsi tentang negara sebagai satu kesatuan organik. Individu pada dirinya sendiri tidak ada artinya kecuali ditempatkan di bawah kepentingan negara. Individu dituntut berkorban demi kepentingan negara. Fichte dan Hegel mengembangkan gagasan bahwa fungsi utama negara adalah mendidik. Regenerasi bangsa dicapai dengan pendidikan yang diarahkan sesuai dengan kepentingan negara. Individu pada dirinya sendiri cenderung egoistik, irasional, dan terkungkung oleh selera-selera pribadi dan lingkungan sekitarnya, kecuali kalau ia menyerahkan kehendaknya di bawah disiplin pendidikan yang dilaksanakan oleh negara. Jerman adalah negara pertama yang menerapkan wajib belajar untuk semua anak dari sekolah dasar sampai universitas dan yang mengawasi dan mengatur seluruh pendidikan swasta secara ketat.

Me

Post a Comment

Semua umpan balik saya hargai dan saya akan membalas pertanyaan yang menyangkut artikel di Blog ini sesegera mungkin.

1. Komentar SPAM akan dihapus segera setelah saya review
2. Jika ada Link Download rusak silahkan komentar dibawah ini
3. Jika Anda memiliki masalah silahkan bertanya di papan komentar
4. Silahkan menyertakan link artikel ini yang mau share ke blog Anda .

Credits