Sunday, July 6, 2014

REVIEW NOVEL RANAH 3 WARNA

SINOPSIS RANAH 3 WARNA

a)      Judul buku                        : Ranah 3 Warna
b)      Pengarang             : Ahmad Fuadi
c)      Penerbit                 : Gramedia Pustaka Utama
d)     Tebal buku            : 473 halaman
e)      Tahun terbit           : Tahun 2011

Alif adalah seseorang yang memiliki cita-cita yang tinggi dia ingin menjadi seperti Habibie, ia memiliki teman bernama Randai. mereka berdua adalah teman akrab sejak kecil. Namun, di lain sisi mereka juga saling bersaing. Sekarang Alif telah menyelesaikan pendidikan agamanya di Pondok Madani. Namun, ia belum memilikii ijazah SMA. Dan ini awal dari perjuaangan alif untuk mencapai cita-citanya untuk masuk ke sekolah yang lebih tinggi. Banyak teman di kampungnya yang meragukan  kemampuannya untuk bisa tembus UMPTN, termasuk Randai. Namun Alif tidak berkecil hati, ia tetap pada mimpinya.
Ia menghiraukan ejekan teman-temannya dan tetap meraih mimpi. Ia bulatkan tekad untuk belajar lebih keras lagi dalam belajar, ia meminjam banyak buku kepada teman-temannya dan ia pelajari setiap hari,hamper setiap hari ia selalu belajar bahkan sampai membuat orangtuanya khawatir akan kesehatan alif akan down. Atas usaha kerasnya akhirnya, ia berhasil lulus ujian persamaan SMA meskipun dengan nilai yang pas-pasan. Namun ia bersyukur dan berjanji akan belajar lebih keras lagi dalam menempuh UMPTN dengan mantra sakti yang ia peroleh selama belajar di Pondok Madani; man jadda wa jada. Siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses. Dalam persiapan menuju UMPTN, ia belajar segenap daya dan  upaya. Tak lupa ia memohon doa dan restu orang tuanya agar dapat lulus UMPTN
Akhirnya, ujian itu pun tiba. Alif telah memaksimalkan  usahanya untuk UMPTN. Beberapa hari setelah itu,hari yang ditunggu telah tiba yaitu hasil UMPTN, Pagi-pagi benar  ia menunggu bus bersama  ayahnya karena hasil UMPTN akan dimuat di koran Haluan. Akhirnya setelah  bus datang, ia cepat-cepat membuka halaman yang memuat pengumuman UMPTN. Dalam harap dan doa yang tiada putus, ia mencari nama dan  nomor ujiannya. Ia bersyukur sekali ketika mengetahui dirinya lulus UMPTN dan berhasil  masuk menjadi mahasiswa HI UNPAD. Ia bahkan  mengabari teman-temannya para shahibul Menara yang dekat dengannya selama di Pondok Madani dulu. Ia berbagi kabar bahagia sekaligus berbagi semangat hidup. 
            Saat waktunya ia harus ke Bandung, namun ayahnya mulai memiliki tanda-tanda kurang sehat, walaupun berat akhirnya ia berangkat untuk memulai kuliah. Sejak  saat itu, ia tinggal bersama Randai dalam satu  kamar kos. Ia berjanji sampai mendapatkan kos yang baru, baru ia akan tinggal di tempat yang lain. masa yang baru telah datang,Alif menjadi seorang mahasiswa.. Ada Wira, Agam, dan Memet mereka adalah teman baru Alif.saat Pada masa-masa perkenalan kampus ia melihat poster penerimaan awak baru majalah kampus dan ia segera mendaftar  dan dari sini ia mengenal Bang Togar, seorang senior yang berbakat dalam dunia jurnalisme. Ia berusaha untuk berguru kepadanya, meskipun sebenarnya Bang Togar adalah seorang yang sangat keras. Ia harus bersabar ketika hasil menulisnya harus dicoret besar-besar dengan spidol merah dan harus bolak-balik ke rumah kos Bang Togar ketika ada deadline  yang harus ia serahkan  langsung. Pernah suatu  ketika ia merasa jenuh dan tak kuat dengan tuntutan Bang Togar yang keras, namun ia harus menguatkan hatinya dan tetap bersemangat karena ia menganggap bahwa itu merupakan bagian dari belajar. Ia juga berkenalan dengan Raisa, cewek yang dikenalinya sehabis turun dari angkot waktu itu.  Entah mengapa ia merasa ada yang lain dengan dirinya ketika berpapasan dengan gadis yang memesona itu.
Alif telah  melewati  semester satu. Ia senang ketika mendapatkan hasil belajar yang baik dan tulisannya di muat di majalah dinding kampus. Ketika itu, Ayah dan Amaknya yang ada di kampung ingin mengunjunginya ke Bandung. Ia merasa senang sekali. Ia berusaha merayu Randai agar dia mau meminjakan kamarnya dan akhirnya Randai setuju.namun ketika mendekati hari kedatangan orang tuanya ia mendapat telegram dari Amak yang mengabarkan bahwa Ayahnya  sedang  sakit. Ia menyuruh Alif untuk segera pulang. Dengan seketika, ia bergegas menuju Sulawesi dengan menaiki bus dengan meminjam uang Randai. Sesampainya di rumah, Alif segera menemui ayahnya yang ternyata sedang terbaring lemas di rumah sakit. Ayahnya yang melihatnya senang, karena anak bujangnya itu pulang. Namun Alif tak sampai hati melihat ayahnya itu. Ayahnya kini semakin kurus, bahkan cincin di jarinya pun longgar. Ayah merasa bangga kepada Alif. Pada suatu hari, ayah memintanya untuk berfoto bersama dalam ruangan  rumah sakit itu, sekeluarga berlima. Hari demi  hari Alif telaten dan bersedia mengurus ayahnya selama di rumah sakit. Hingga kesehatan ayahnya benar-benar pulih dan akhirnya dipersilakan pulang ke rumah oleh dokter.             
Alif senang mendengar pernyataan dokter yang memperbolehkan ayahnya kembali pulang ke rumah. Kesehatan ayahnya memang berangsur-angsur pulih. Ia pun ingin segera kembali ke Bandung. Namun, hari itu pula ia harus menyaksikan ayahnya yang  batuk-batuk, kedinginan, dan sungguh di luar dugaan, hari itu ayahnya meninggal, meninggalkan Alif, Amak, beserta adik-adiknya untuk selamanya.sebelum meninggal beliau memberikan pesan agar selalu menjaga amak dan adik-adiknya. Akhirnya ia harus berlapang dada dan benar-benar berjanji untuk melakukan apa yang diperintahkan ayah: tetap lanjut kuliah dan menjaga Amak dan adik-adiknya.
Selama beberapa hari berkabung itu, Alif harus benar-benar ikhlas merelakan kepergian sang ayah. Ia harus kembali ke Bandung. Dengan meminta izin kepada Amak yang disayanginya, ia harus segera kembali ke Bandung dan tetap melanjutkan kuliahnya, meskipun  ia tak tahu harus bagaimana hidup di rantau dalam posisi sebagai anak yatim.
Setibanya di Bandung, ia disambut hangat oleh teman-temannya, termasuk Randai. Mereka mengucapkan rasa belasungkawa atas meninggalnya ayah Alif. Alif kini harus melewati hari-hari normal dalam berkuliah. Namun ia sadar, amaknya di kampung sana bekerja keras untuk dapat membiayai Alif. Ia tak sampai hati dan  merasa terlalu memberatkan Amaknya. Ia tak tega. Dan sejak saat itu, ia mulai merambah usaha-usaha. Ia bahkan menjual produk-produk yang digemari ibu-ibu. Ia berjualan songket, kain tenun, mukena, bahkan aksesoris lainnya. Ia menekan  segenap ego dan gengsi. Sejak saat itu ia berusaha bagaimana caranya untuk bisa membiayai diri sendiri dan juga Amaknya. Nilai-nilai kuliah Alif sempat turun, bahkan beberapa ada nilai yang C dan D. Ia sangatlah fokus kepada produk yang dijualnya. Hingga akhirnya ia sampai jatuh sakit. Ia terkena tifus selama tiga minggu. Ia semakin tak berdaya ketika ia dirampok beberapa orang tak dikenalnya.             
Saat dalam keadaan yang hampir putus asa, Alif teringat pada mantra sakti yang ia dapatkan selama belajar di Pondok Madani dulu, man shabara zhafira: siapa yang bersabar akan beruntung. Sejak saat itu, ia menyerahkan segenap hidupnya pada Allah, dengan kesabaran dan keikhlasan hatinya. Mengingat mantra sakti itu, Alif berusaha bangkit. Ia kembali menemui bang Togar untuk belajar menulis seperti dulu. Walaupun ditempa habis-habisan Alif harus bersabar ketika tulisannya dicoret, dan akhirnya beberapa tulisannya pun di muat di surat kabar. Ia senang sekaligus bangga karena saat itu ia mulai dikenal orang. Alif terus memulai langkah hidup baru. Ia kini semakin focus pada kegiatan tulis-menulisnya. Ia kini bahkan mampu mengirimi uang kepada Amak di kampung.
 Suatu ketika, Alif berselisih paham dengan sahabat karibnya, Randai. Gara-gara meminjam komputer itu, hubungan persahabatan mereka nampak renggang. Akhirnya, sejak saat itu Alif memutuskan untuk mencari kos baru dan ia pun berjanji dalam hati untuk tidak meminjam barang kepada orang lain.            
Alif semakin bersemangat menjalani hidupnya. Impiannya sudah banyak yang terkabul. Kini ia punya mimpi yang besar: mendapat beasiswa ke luar negeri. Dalam perjalanan kuliahnya, Alif mencoba mengikuti tes pertukaran pelajar ke Amerika, bermodalkan niat dan tekad, Alif pun berhasil lolos dengan berbagai pertimbangan yang diberikan oleh panitia. Kanada! Ya itu tempat yang akan Alif tuju, impiannya untuk menginjakkan kaki di Amerika akhirnya tercapai. Raisa yang merupakan perempuan yang Alif sukai, ia juga lolos seleksi pertukaran pelajar. Dari pertukaran pelajar tersebut Alif menjadi banyak teman.
Tiba waktunya Alif beserta segenap duta Indonesia pergi ke Kanada untuk melaksanakan misi pertukaran mahasiswa. Ia bertemu dengan teman-teman yang unik, temasuk Rusdi sang kesatria berpantun. Ketika sesampainya di Kanada, ia dibagi oleh sang kakak yang memandu. Alif ditempatkan di Quebec, bersama Franc Pepin. Mereka pun sangat beruntung memiliki keluarga asuh yang baik. Frandinand dan Mado.
Sejak mengikuti pertukaran itu, Alif pun semakin berambisi untuk bisa mempersembahkan medali emas dan menunjukkan kepada dunia bahwa ia bisa berprestasi. Ia ingin mengalahkan Rob, pemuda berkebangsaan Kanada yang arogan itu. Akhirnya, dengan kerja keras dan memantapkan segenap daya dan upayanya berdasarkan man jadda wa jadda  ia berhasil bersama Francois Pepin merebut medali emas. Ia pun berhasil menarik perhatian Raisa. Semakin hari, nampaknya ia semakin jatuh hati kepada gadis itu. Pernah ia datang ke kantor Raisa, namun lagi-lagi ia tak berhasil menyampaikan maksudnya itu.
Bersama duta Indonesia yang lain di Kanada, Alif berhasil membawa nama Indonesia. Mereka sukses mempertunjukkan  kebolehan  mereka memainkan tarian adat dan  memasak makanan  asli Indonesia yang memikat. Selain itu, berdesir dalam darah mereka nama Indonesia, negeri tercinta yang kini mampu sejajar dengan bangsa yang lain. Semakin menggelegak semangat mereka memperjuangkan tanah sendiri di rantau.           
Setahun berlalu, Alif dan rombongan pertukaran pelajar kembali ke Indonesia. Beberapa tahun kemudian, Alif lulus, tapi di hari kelulusan itu, saat dia ingin menyerahkan surat tersebut ke Raisa, hal yang tidak disangka terjadi, Raisa telah bertunangan dengan Randai, kawan karibnya! Dengan perasaan yang campur aduk dia berusaha mencoba untuk menerimanya. Setelah 10 tahun, Alif menepati janjinya ke Franco Peppin untuk mengunjungi dia kembali di Kanada dengan seorang istrinya. Di puncak bukit kota itu dia menatap terbitnya matahari dengan istrinya, dia bernostalgia dengan perjuangannya yang keras dia bisa menjadi besar seperti ini, berkat 2 mantra dari Pondok Madani “man jadda wa jadda” dan “man shabara zhafira.”.

A.    UNSUR INTRINSIK

1.      TEMA :  Perjuangan hidup untuk mencapai cita-cita

2.      PENOKOHAN
ALIF FIKRI adalah tokoh utama dalam novel ranah 3 warna yang tengah berjuang dalam menggapai cita-cita.
·         Mudah putus asa
“Waktu itu impianku adalah menjadi seperti Habibie dan belajar sampai Amerika. Tapi lihatlah aku hari ini. Memancing seekor ikan danau pun tidak bisa. Apalagi menggapai cita-citaku” (Ranah 3 Warna, hal.3)
“Tapi Yah, hanya 2 bulan? Untuk belajar pelajaran 3 tahun?” Aku menghela napas panjang, antara bingung dan gentar. Bisakah aku?(Ranah 3 Warna, hal 6)
“Dengan modal ini bagaimana aku akan lulus UMPTN? Randai bahkan mungkin akan terhelak atau malah kasihan melihat nilaiku nanti”..(Ranah 3 Warna, hal 14)
·         Pantang menyerah
“Jangan banyak tanya!” teriakku. Lihat saja nanti. Kita sama-sama buktikan!” kataku dengan nada tinggi. (Ranah 3 Warna, hal.4)
“Insya Allah Yah, ambo akan berjuang habis-habisan untuk persamaan ini dan untuk UMPTN”( Ranah 3 Warna, hal. 6)
“Aku ingin membuktikan kepada mereka semua, bukan mereka yang menentukan nasibku, tapi diriku dan Tuhan. Aku punya impianku sendiri. Aku ingin lulus UMPTN, kuliah di jalur umum untuk bisa mewujudkan impianku ke Amerika (Ranah 3 Warna, hal.8)
“Jangankan setahun, tiga tahun pun akan aden lakukan demi mencapai cita-cita...” ( Ranah 3 Warna, hal.10)
“Bismillah. Ayo, kawan hitamku, kita taklukkan dunia,”bisikku.( Ranah 3 Warna, hal.42)
“Hari ini aku memutuskan bangkit dari sakitku” ( Ranah 3 Warna, hal.133)
·         Jujur
“Joki? Aku menggeleng keras untuk perjokian. Apa gunannya ajaran Amak dan Pondok Madani  tentang kejujuran dan keikhlasan?” ( Ranah 3 Warna, hal 8)
·         Pekerja keras
“Jangan diganggu”, begitu tulisan besar yang aku temple dipintu kamar.Pintu kamar pun aku kunci dan sudah berhari-hari aku mengurung diri, hanya ditemani bukut-bukit buku. Bahkan kalau adikku diam-diam mengintip dari balik pintu, aku halau mereka...(Ranah 3 Warna, Hal. 15)
·         Bertawakal
 Aku mencoba menghibur diriku. Toh aku telah melakukan usaha diatas rata-rata. Telah pula aku sempurnakan kerja keras dengan doa. Sekarang tinggal aku serahkan pada Tuhan. Aku coba ikhlaskan semuanya. (Ranah 3 Warna, hal. 28)
·         Bijaksana
“Ambo sudah biasa merantau ke Jawa, jadi janganlah Ayah khawatir. Tapi melihat kondisi Ayah, malah Ambo yang cemas. Ambo akan tunggu Ayah sehat dulu” ( Ranah 3 Warna, hal.39)
·         Patuh kepada orangtua
 “Nak, sudah wa’ang  patuhi perintah Amak untuk sekolah agama, kini pergilah menuntut ilmu sesuai keinginanmu...” kata Amak. (Raah 3 Warna, hal.41)
·         Mudah bimbang
 “Mana yang harus aku patuhi? Wasiat Ayah untuk membela Amak dan adik-adikku, dengan mengorbankan kuliah? Atau tunduk pada “ancaman” Amak untuk terus kuliah. Tapi merasa bersalah karena membebani beliau?” ( Ranah 3 Warna, hal.105)
RANDAI adalah sahabat karib Alif yang kuliah di ITB.
·         Sombong 
“Randai hanya melirikku sambil tersenyum timpang seperti tidak yakin. Bola matanya berputar malas. Lagaknya selalu kurang ajar” (Ranah 3 Warna, hal.3).
“Hmm. Kuliah di mana setelah di pesantren? Emangnya wa’ang bisa kuliah ilmu umum? Kan tidak ada ijazah SMA? Bagaimana akan bisa ikut UMPTN?” Pertanyaan Randai berentetan dan berbunyi sengau.” (Ranah 3 Warna, hal.4)
·         Merendahkan orang lain
 “Hmm, kuliah di mana setelah pesantren? Emangnya wa’ang bisa kuliah ilmu umum?  Kan tidak ada ijazah SMA? Bagaimana akan bisa ikut UMPTN?”.( Ranah 3 Warna, hal.4)
·         Baik Hati
“Randai tampaknya kasihan padaku” ( Ranah 3 Warna, hal.62)
“lif,kita kan kawan,tinggal saja dulu disini sampai ketemu kos yang pas.” ( Ranah 3 Warna, hal.62)
“Randai ternyata serius membantuku untuk berjualan pakaian” ( Ranah 3 Warna, hal.116)
·         Setia kawan, baik hati, mau menolong
“Atau begini saja. Bagaimana kalau gabung saja dengan aku di sini, kita bisa patungan bayar berdua kamar ini.” (Ranah 3 Warna, hal.62)
·         Pemarah
 “Mana mungkin wa’ang bisa bantu. Ini kan pelajaran Teknik, pasti nggak ngerti!” suaranya meninggi “Tadi diapakan ini? Bertahun-tahun komputer ini tidak pernah rusak!” Tangannya sekarang membuka kap CPU dengan kasar, mencabut beberapa kabel sekali renggut dengan keras.” (Ranah 3 Warna, hal 168)
AYAH ALIF FIKRI adalah lelaki yang sangat menyayangi Alif dan memiliki hobi yang sama dengan anaknya.dalam novel ini ayah alif termasuk tritagonis
·         Bijaksana
“Ayah mungkin yang paling tahu perasaan yang aku simpan. Setahun lalu, beliaulah yang datang jauh-jauh dari Maninjau menemuiku di Ponorogo, hanya untuk menjinakkan hatiku ketika aku ingin sekali keluar dari Pondok Madani auat PM” (Ranah 3 Warna, hal. 5).
“Semoga bisa lulus UMPTN ya, Nak. Hanya biaya kuliah di universitas negeri yang mungkin bisa kita bayar,” kata Ayah lirih (Ranah 3 Warna, hal.6)
 “Nak, ingat-ingatlah nasihat para orangtua kita. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung jangan lupa membawa nama baik dan kelakuan. Elok-elok di negeri orang. Jangan sampai berbuat salah.” ”(Ranah 3 Warna, hal. 41)
·         Menepati janjinya
 “Alif, ini semua formulir yang harus diisi. Waktu ujian persamaan SMA tinggal 2 bulan lagi. Sekarang tugas wa’ang untuk belajar keras. (Ranah 3 Warna, hal.5)
·         Penuh perhatian
 “Ayah dan Amak akan doakan dengan sepenuh hati,” kata Ayah menatapku. Tangannya mengusap kepalaku sekilas. (Ranah 3 Warna, hal.25)
·         Keras kepala
 “Sebetulnya, Pak Mantri Pian sudah menganjurkan Ayah untuk banyak beristirahat, tapi dia tetap juga keras kepala untuk batanggang menonton Piala Eropa bersamaku sampai subuh” (Ranah 3 Warna, hal.31)

AMAK adalah seorang ibu yang sangat baik hati
·         Baik hati, bijaksana, penyayang
“Nak, sudah wa’ang  patuhi perintah Amak untuk sekolah agama, kini pergilah menuntut ilmu sesuai keinginanmu. Niatkanlah untuk ibadah, insya Allah selalu dimudahkanNya. Setiap bersimpuh setelah salat, Amak selalu berdoa untuk wa’ang,” kata Amak. (Ranah 3 Warna, hal.41)

BANG TOGAR adalah pengajar Alif, dia mendidik alif dengan keras dalam menulis untuk diterbitkan di media massa.
·         Tegas
 “Mau pintar kok pakai tawar-tawar. Tulisan urusan kau. Kalau serius, datang bawa satu tulisan besok. Kalau tidak bisa, tidak usah sekalian. Titik” (Ranah 3 Warna, hal.68).
“Enak saja 1 bulan. Kau hilang hampir setengah tahun, tau!” (Ranah 3 Warna, hal.138).
“Yakin tahan? Aku akan didik kau keras seperti dulu, bahkan akan lebih keras. Siap kau?” ( Ranah 3 Warna, hal.139)
·         Baik hati
“Sabar ya, Lif. Doakan bapak kau sering-sering” ( Ranah 3 Warna, hal.139)
“Sabar-sabar saja kau, ambil hikmahnya. Masih tahan,kan?” ( Ranah 3 Warna, hal.140)
“Dia memang orang Batak yang tanpa basa-basi. Keras, tapi aku tahu hatinya baik” ( Ranah 3 Warna, hal.144)
“Yang penting kasih orang yang nggak mampu, anak yatim piatu” ( Ranah 3 Warna, hal.155)
RAISA yaitu wanita yang memiliki daya tarik bagi Alif dan Randai.
·         Percaya diri
 “Acara ditutup dengan Raisa tampil di depan. Seragam jas biru tua semakin menambah aura percaya dirinya yang besar.” (Ranah 3 Warna,hal. 228)
      RUSDI :
·      Percaya diri
 “ Kita seperti sedang menyamar. Sayang sekali mereka, para gadis, itu tidak tahu. Rugilah mereka. It’s their loss, not ours,” (Ranah 3 Warna, hal.424)
      MADO:
·         Baik hati, berhati lembut, penuh perhatian
 “Mado, perempuan berambut pirang yang lembut hati ini selalu telaten membakar roti isi omelet yang gurih buat sarapanku. Sering dia berlari-lari tiba-tiba menyusulku yang sudah naik ke sadel sepeda, hanya untuk memasukkan lagi sebungkus biskuit.” (Ranah 3 Warna, hal.428)
      FERDINAND:
·      Banyak berbuat daripada bicara, perhatian, baik hati
 “Sedangkan Ferdinand banyak berbuat daripada bicara. Aku pernah bilang harus mengirim artikel setiap minggu ke koran di Bandung. Diam-diam dia menghubungi anak sulungnya, Jeaninne yang sudah bekerja di Quebec City, menanyakan apakan punya komputer yang tidak dipakai.” (Ranah 3 Warna, hal.428)
      KAK MARWAN:
·         Bijaksana
 “Tugas kalian adalah sebagai duta muda bangsa di mata orang Kanada. Jadilah cerminan orang Indonesia yang terbaik. Gunakan setiap kesempatan untuk menjadi yang terbaik,” (Ranah 3 Warna, hal.264)
      WIRA
·         Pemarah, pemberani
 “Di kananku, Wira si kera ngalam yang berparas putih ini telah menjelma seperti udang rebus. Merah padam. Matanya tak lepas-lepas menantang telunjuk Jumbo yang menghardiknya.” (Ranah 3 Warna, hal. 54)
      AGAM
·         Mudah bergaul, humoris, baik hati, usil
 “Agam adalah perekat kami. Dia selalu punya humor heboh untuk diceritakan. Agam suka mengikat sepatu orang lain atau melempat bola kertas untuk mengusili teman yang mengantuk.” (Ranah 3 Warna, hal.59)
        MEMET :
·         Cinta damai, suka membantu
 “Memet juga berbadan subur, tapi kebalikan dari Agam. Dia pecinta damai dan selalu melarang Agam berbuat usil. Kegiatan utama memet adalah sibuk membantu siapa aja. Kalau kami kehausan, dia akan dengan senang hati mengangsurkan botol minum.” (Ranah 3 Warna, hal. 60)

3.      LATAR
LATAR TEMPAT :
·         Kampus
Kampusku, jurusan Hubungan Internasional, terletak di perbukitan Dago, menempel dengan Dago Tea Huiss.”( Ranah 3 Warna,hal. 64)      
·         Kamar Alif
                  Kamarku kini seperti toko barang bekas (Ranah 3 Warna, hal. 9)
·         Sumatra Barat
“Aku duduk di sebuah aula luas milik IKIP Padang bersama ratusan anak muda lain sari segala penjuru Sumatra Barat”
·         Maninjau
“Batu sebesar gajah ini menjorok ke Danau Maninjau, dianungi sebatang pohon kelapa yang melengkung seperti busur.” (Ranah 3 Warna, hal. 1)
“..., dua jenis ikan kecil yang hanya ada di Danau Maninjau, dan teriakan Randai yang lagi-lagi mendapatkan ikan yang entah berapa ekor”(Ranah 3 Warna,hal.3)
 “Setelah ujian, aku pulang ke Maninjau dengan hati yang tidak pernah tenang” (Ranah 3 Warna,hal. 27)
      “Dengan duit pinjaman dari Randai, malam itu juga aku pulang ke Maninjau.” (Ranah 3 Warna,hal. 86)
·         Depan kos Bang Togar
 “Dengan terengah-engah aku sampai juga di depan kos Bang Togar.” (Ranah 3 Warna, hal. 73)
·         Cibubur
”Begitu menginjakkan si Hitam di gerbang kamp persiapan Cibubur.” (Ranah 3 Warna, hal. 218)
·         Montreal
 “Setelah beberapa hari di Montreal, aku mulai berani untuk berjalan-jalan sendiri.” (hal. 261)
·         Bandung
“Rem angin bus ANS mendesis-desis ketika mulai memasuki wilayah kota Bandung” (Ranah 3 Warna, hal.43)
Hoi, sampai juo kawan ko di Banduang. Ah, sampai juga kawan ini di Bandung”(Ranah 3 Warna, hal.44)
Hampir setahun aku di Bandung.” (Ranah 3 Warna,hal. 83)
·         Rumah kos Randai
“Akhirnya aku sampai di rumah kos Randai, sebuah rumah yang terjebak diantara rumah-rumah penduduk di salah satu ujung gang.” (Ranah 3 Warna,hal.44)
·         Kota Amman
“Begitu satu bus besar kami membelah Kota Amman, Semua mata kami kini terbuka lebar.” (Ranah 3 Warna,hal. 238)
·          Kanada
“Tidak salah kalau orang Kanada menjadikan daun maple merah sebagai gambar bendera mereka”
“Alif, saya ingih minta bantuan kamu untuk mengajarkan cara menulis selama kita di Kanada ini. Mau ya?” ( Ranah 3 Warna, hal.356)
“coba dengar baik-baik.hari ini sangat penting.bahkan mungkin paling penting selama kalian di Kanada…”( Ranah 3 Warna, hal.264)
·         Quebec-Saint Raymond
“Bus kuning kami menderum di jalan mulus Quebec”
“Bagaimana kalau di puncak tertinggi Saint-Raymond? Namanya Mont Laura. Baru kemarin... ”
“Dalam hitungan bulan, pelan-pelan, kami anak-anak Indonesia menjelma menjadi selebriti lokal di Saint-Raymond.” (Ranah 3 Warna, hal. 433)
LATAR WAKTU
·         Pagi
 Pagi-pagi aku lihat selimt dan sepraiku di sekelilingku kusut masai” (Ranah 3 Warna,hal.25)
“Belum pernah aku melihat senyum Ayah seperi pagi ini. Tanpa suara, sungguh senyum yang lebar dan terang”(Ranah 3 Warna, hal.30)
“Pagi-pagi buta Amak membangunkanku” ( Ranah 3 Warna, hal.93)
“Pagi itu Bandung hujan lebat dan banyak teman yang terlambat masuk kelas Politik Internasional,...” ( Ranah 3 Warna, hal.148)
 “Pada suatu pagi, Bandung begitu gelap seperti sudah malam.” (Ranah 3 Warna, hal. 81)
“Hari Minggu pagi ini, Mado dan Ferdinand terus mondar mandir di dapur.” (Ranah 3 Warna, hal. 313)
·         Sore
“Sore itu langit Bandung kelam dan angin datang menderu-deru”(Ranah 3 Warna, hal.51)
“Beberapa kali aku melihat dia duduk di teras kos seberang hanya untuk mengobrol dengan Raisa sore-sore” ( Ranah 3 Warna, hal.82)
“Sore itu, sepulang kuliah, dengan naik angkot aku antar naskahku ke redaksi sebuah koran daerah” ( Ranah 3 Warna, hal.145)
·         Malam
“Aku menggeliat dan melihat jam. Sudah jam 8 malam”(Ranah 3 Warna, hal.43)
“Rambut dan bajuku basah, tapi aku tidak berani berhenti karena takut akan semakin kemalaman”(Ranah 3 Warna, hal.44)

LATAR SUASANA
·         Tegang
Satu-satu butir keringat dingin merambat turun di kening dan punggungku. Astagfirllah, banyak soal yang di luar perkiraanku. Beberapa soal aku sama sekali tidak tahu jawabannya” ( Ranah 3 Warna, hal.27)
“Setelah ujian, aku pulang ke Maninjau dengan hati yang tidak pernah tenang” ( Ranah 3 Warna, hal.27)
“Kali ini para senior benar-benar melabrak kami. Di tengah hiruk pikuk aku merasa keningku dihantam sebuah tangan” ( Ranah 3 Warna, hal. 57)
“Tulang tangannya yang kurus menjepit kerongkonganku dari belakang. Aku ingin meronta tapi urung karena sebuah benda dingin melingkari dan menekan urat leherku” ( Ranah 3 Warna, hal.121)
·         Bahagia
“Belum pernah aku mellihat senyum Ayah seperi pagi ini. Tanpa suara, sungguh senyum yang lebar dan terang” ( Ranah 3 Warna, hal.30)
·         Sedih
“Aku prihatin menatap Ayah. Sudah aku perhatikan sejak beberapa minggu ini mukanya semakin tirus dan pucat. Aku bahkan tidak berani meninggalkan Ayah dalam kondisi begini” ( Ranah 3 Warna, hal.39)
“Lalu beberapa isakan pecah pelan-pelan. Terbit dari arah Amak dan adik-adikku yang duduk di pinggir dipan. Mereka berangkulan” ( Ranah 3 Warna, hal.95)
“Aku coba berlaku ikhlas dengan membisikkan innalillah wainna ilahi rajiun” ( Ranah 3 Warna, hal.96)
·         Haru
“Aku tidak mau terbawa haru melihat empat orang yang aku sayangi melambai-lambaikan tangan tak putus-putus” ( Ranah 3 Warna, hal.42)
4.   Alur.
Novel ini memiliki alur maju dan mundur.
Alur maju yang menceritakan perjuangan tokoh Alif dalam mendapat ijazah untuk masuk ke sekolah yang lebih tinggi, dikarenakan alif hanya lulusan pesantren. “Alif, ini semua formulinya yang harus diisi. Waktu ujian persamaan SMA tinggal 2 bulan lagi. Sekarang tugas waa’ang untuk belajar keras,”. (Ranah 3 Warna,hal.5)
Alur mundur yang membuat Alif bernostalgia kembali dalam kenangannya ketika menyatren di pondok madani. “tiba-tiba aku merinding, merasakan energi semangat dari pondok madani mengerubutiku. Dan kenangan itu kini hadir bertubi-tubi”. (Ranah 3 Warna, hal. 131)

5.         SUDUT PANDANG
            Sudut pandang dalam novel ini adalah orang pertama pelaku utama. Dari tahap pengenalan masalah sampai tahap anti klimaks “Aku” selalu bercerita tentang dirinya. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan,
 “Aku coba berlaku ikhlas dengan membisikkan innalillah wainna ilahi rajiun ( Ranah 3 Warna, hal.96)
“Aku tidak mau terbawa haru melihat empat orang yang aku sayangi melambai-lambaikan tangan tak putus-putus” ( Ranah 3 Warna, hal.42)
6.         GAYA BAHASA
Majas metafora:
Aku akan mengingat selalu nasehat terakhir ayah, yang jelas kita tidak bisa menonton bola bersama lagi. Kecuali di surga ada sepak bola. Kita juga tidak akan bisa berburu durian bersama lagi, kecuali pohon durian juga tumbuh di surga. (Ranah 3 Warna,hlm.98)
Aku terlonjak seperti disengat listrik. Aku ingat sesuatu. Tanganku cepat merogoh kebawah bantal, mencari dompetku. (Ranah 3 Warna,hlm.132).
Majas Litotes :
Aku pun tahu macam mana mengobati kau. Yok, kita pergi sekarang juga. Ke rumah sakit malas. (Ranah 3 Warna, hlm.160).

7.      AMANAT
Kita harus selalu bersabar dalam menghadapi setiap tantangan hidup yang diberikan kepada Tuhan untuk kita,karena Tuhan pasti akan memberikan jalan untuk melewatinya. Seperti yang dikatakan Bang Togar, kita memiliki askes pendidikan. kenapa kita malas? harusnya kita bersyukur kepada Tuhan karena kita masih termasuk orang yang beruntung.rajinlah belajar selama masih memiliki kesempatan

B.     UNSUR EKSTRINSIK
1.      Nilai Religius :
Manusia bisa berencana, namun Tuhanlah yang menentukan.
Bukti :
“Telah pula aku sempurnakan kerja keras dengan doa. Sekarang tinggal aku serahkan  kepada putusan Tuhan. Aku coba ikhlaskan semuanya. “
”Kalau aku sudah bingung dan  terlalu capek  menghadapi segala tekanan  hidup, aku praktikkan nasihat Kiai Rais, yaitu siapa saja yang mewakilkan urusannya kepada Tuhan, maka Dia akan ‘mencukupkan’ semua kebutuhan kita.”

Kita harus sabar dalam menjalani hidup.
Bukti :
“Perjuangan tidak hanya butuh kerja keras, tapi juga kesabaran dan keikhlasan untuk mendapat tujuan yang diimpikan. Kini, terang di mataku, inilah masa paling tepat buatku untuk mencoba bersabar. Agar aku beruntung. Agar Tuhan bersamaku.”(Ranah 3 Warna,hal 135)

2.      Nilai Moral :
Sebagai sesama ciptaan Tuhan, kita tidak boleh merendahkan dan meremehkan kemampuan orang lain.
Bukti:
“Randai hanya melirikku sambil tersenyum timpang seperti tidak yakin. Bola matanya berputar malas. Lagaknya selalu kurang ajar.” (Ranah 3 Warna, hal.3).
“Hmm, kuliah dimana setelah pesantren? Emangnya wa’ang bisa kuliah ilmu umum? Kan  tidak ada ijazah SMA? Bagaimana akan bisa ikut UMPTN?” (Ranah 3 Warna, hal.4).
“Kalau gitu, jauh panggang dari apilah. Aden  saja dua kali mencoba baru tembus. Padahal NEM aden tinggi” (Ranah 3 Warna, hal.7).

Dalam setiap kesempatan  dan  kondisi tertentu, tetaplah menjadi diri sendiri dan berlaku baik dalam segala hal, termasuk bersikap jujur.
           Bukti :
 “Joki? Aku menggeleng keras untuk perjokian. Apa gunanya ajaran Amak dan Pondok Madani tentang kejujuran dan keikhlasan?” ( Ranah 3 Warna, hal 8)

 Kita harus berbakti kepada orang tua.
Bukti:
Aku mengambil piring bubur dari tangan Amak. Sesendok demi sesendok aku suapi ayah. Sesekali aku bersihkan sisi bibirnya dengan saputangan.” (Ranah 3 Warna, hal.91).
“Aku akan mendoakan Ayah dari sini. Aku akan mencoba menjadi anak yang saleh yang terus mendoakanmu, supaya menjadi amalmu yang tidak akan  putus. Aku akan mengingat selalu  nasihat terakhir Ayah.” (Ranah 3 Warna, hal 98).
“Apa gunanya masa muda kalau tidak untuk memperjuangkan cita-cita besar dan membalas budi orang tua? Biarlah tulang mudaku ini remuk dan badanku  susut. Aku ikhlas mengorbankan masa muda yang indah seperti yang dinikmati kawan-kawanku.” (Ranah 3 Warna, hal.117).
     
3.      Nilai Sosial
 Sebagai makhluk sosial kita harus saling tolong-menolong dalam  setiap keadaan apapun itu (baik maupun buruk).
Bukti :
“Untunglah Zulman, temanku  yang  resik menjaga catatannya, dan Elva, yang punya semua buku SMA , bersedia meminjamiku.” (Ranah 3 Warna, hal.9).
“Kalau tidak ada penjual bakso yang berbaik hati menunjukkan  jalan, aku sudah pasti tersesat di gang yang berliku-liku ini.” (Ranah 3 Warna, hal.44).
“Lif, kita kan kawan, tinggal saja dulu disini sampai ketemu kos yang pas.” (Ranah 3 Warna, hal.62).

 Memberikan sedekah kepada fakir miskin
            Bukti :
 “Sore itu, aku datangi sebuah  panti asuhan di Jalan Nilem. Aku kais-kais lembar  terakhir  isi dompetku dan aku serahkan ke bapak pengurus panti itu.” (Ranah 3 Warna, hal.155).

Menjaga kepercayaan (dalam persahabatan).
            Bukti :
 “Aku merasa ada sesuatu yang longsor dari hubunganku dan Randai. Kepercayaan. Dan sialnya masalah kepercayaan ini rusak hanya gara-gara pinjam-meminjam.” (Ranah 3 Warna, hal.172).

4.      Nilai Budaya
Nilai ini mengandung  kebiasaan  yang sering dilakukan tokoh bersama tokoh yang lain.
Bukti :
“Sejak kecil, kami konco palangkin. Kawan sangat akrab. Pada bulan puasa, kami bahu-membahu menebang betung untuk membikin meriam  bambu. Tapi malamnya kami saling berlomba membuat meriam yang meletus paling keras.” (Ranah 3 Warna, hal.4).
“Sejak kecil aku sering diajak Ayah menonton pertandingan sepak bola, mulai dari kelas kampung sampai kabupaten. Selain berburu durian, menonton sepak bola adalah waktu khusus aku dengan Ayah. Hanya kami berdua saja.” (Ranah 3 Warna, hal.18).

5.      Nilai Pendidikan
Kita harus memiliki mimpi dan kemauan yang keras untuk meraih mimpinya. Niat adalah awal yang baik dalam  memulai  mimpi.
Bukti :
“Pagi itu, dengan  mengepalkan  tinjuku, aku bulatkan  tekad, aku bulatkan  doa: aku akan lulus ujian persamaan SMA dan berperang menaklukkan UMPTN”(Ranah 3 Warna, hal 9)
 “Bila aku  bosan belajar, aku bisikkan ke diri sendiri nasihat Imam Syafi’i, “berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.” (Ranah 3 Warna, hal.26)
“Awalnya aku kesal, tapi lama-lama aku berpikir kenapa aku tidak menggunakan penolakan sebagai pecut untuk malah bermimpi lebih besar: berburu beasiswa ke luar negeri.” (Ranah 3 Warna, hal.178).

Seberat apapun ujian yang kita dapat, jangan bersikap pesimis dan rendah diri. Tetap optimis, tetap berjuang dan tetap semangat.
            Bukti :
 “Semakin banyak yang melihat aku dengan sebelah mata, semakin menggelegak semangatku  untuk membuktikan bahwa kita tidak boleh meremehkan orang lain, bahkan tidak boleh meremehkan impian kita sendiri, setinggi apa pun.”
“Dengan segenap jiwa, aku tegaskan bahwa aku tidak mau menjadi pecundang, orang yang  kalah sebelum  berjuang. Setiap pikiran sumbang yang mencoba tumbuh di kepalaku, aku serang balik.”

 Dalam menjalani hidup, kita tidak boleh bermalas-malasan.
            Bukti :
 “Coba kau lihat. Berapa pun mereka bekerja keras, kemungkinan besar mereka tetap jadi orang miskin. Begitu juga anak keturunan mereka nanti. Begitu seterusnya. Sedangkan kau, boleh tidak punya duit, tapi kau ada kesempatan untuk berhasil, bahkan  membantu  orang seperti mereka. Mereka tidak punya akses untuk pendidikan, kau punya. Kau orang yang beruntung. Tidak pantas kau malas!”(Ranah 3 Warna, hal.162)
“Dulu waktu aku baru  merantau ke Bandung,  aku tidak  punya apa-apa. Hanya modal  nekat. Awalnya aku gampang mengasihani diriku sendiri, lalu malas-malasan dan menyalahkan nasib. Tak sengaja aku lewat di dekat tempat ini. Aku melihat pedihnya hidup mereka di kampung ini. Sampai disini aku baru tahu bahwa aku jauh lebih beruntung. Sungguh tidak pantas aku bermalas-malasan.”( Ranah 3 Warna, hal.163)


6.      Nilai Estetika
Nilai yang berkaitan dengan unsur  keindahan yang nampak dalam kehidupan tokoh sehari-hari.
Bukti :
Langit bersih terang, Bukit Barisan menghijau segar, air Danau Maninjau  yang biru pekat, dan angin danau  yang lembut mengelus ubun-ubun. Ranah 3 Warna, hal.2)
Kampusku, Jurusan Hubungan Internasional terletak di pinggang perbukitan  Dago, menempel dengan Dago Tea Huiss. Bangunannya tua, bergaya art deco yang lurus-lurus dinanungi rimbunan pohon-pohon  tanjung yang besar. Jalan aspal mendaki ke kampus ini diseraki daun besar-besar yang gugur. Burung sibuk bercericit di sana-sini. (Ranah 3 Warna, hal. 54)
Begitu sampai di depan terminal kedatangan yang teduh, aku julurkan tanganku untuk menyentuh daun  maple yang selama ini hanya aku lihat di gambar. Daunnya agak lonjong dengan gerigi besar-besar di sekelilingnya, permukaannya terasa kesat dan bertulang lunak. Ada yang hijau segar, ada yang kuning, dan ada yang mulai memerah terang, bahkan ada daun yang memuat kombinasi ketiga warna itu. Indah sekali. Ranah 3 Warna, hal.256)

C.     Biografi Ahmad Fuadi
Ahmad Fuadi, kelahiran Nagari Bayur, sebuah kampung kecil di pinggir Danau Maninjau 30 Desember 1972, adalah seorang novelis, praktisi konservasi, dan wartawan. Ibunya guru SD dan ayahnya guru madrasah. Fuadi merantau ke Jawa, mematuhi permintaan ibunya untuk masuk sekolah agama. Ia masuk di Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo tahun 1988 dan lulus tahun 1992. Di sana dia bertemu dengan kiai dan ustad yang diberkahi keikhlasan mengajarkan ilmu hidup dan ilmu akhirat. Gontor pula yang membukakan hatinya kepada rumus sederhana tapi kuat, ”man jadda wajada”, siapa yang bersungguh ­sungguh akan sukses.
Juga sebuah hukum baru: ilmu dan bahasa asing adalah anak kunci jendela-jendela dunia. Bermodalkan doa dan manjadda wajada, dia mengadu untung di UMPTN. Jendela baru langsung terbuka. Dia diterima di jurusan Hubungan Internasional, Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung dan lulus 1997.
Semasa kuliah, Fuadi pernah mewakili Indonesia ketika mengikuti program Youth Exchange Program di Quebec, Kanada (1995-1996). Di ujung masa kuliah di Bandung, Fuadi mendapat kesempatan kuliah satu semester di National University of Singapore dalam program SIF Fellowship (1997). Lulus kuliah, dia mendengar majalah favoritnya Tempo kembali terbit setelah Soeharto jatuh. Sebuah jendela baru tersibak lagi, Tempo menerimanya sebagai wartawan (1998). Kelas jurnalistik pertamanya dijalani dalam tugas-tugas reportasenya di bawah para wartawan kawakan Indonesia.
Selanjutnya, jendela-jendela dunia lain bagai berlomba-lomba terbuka. Setahun kemudian, dia mendapat beasiswa Fulbright untuk program S-2 di School of Media and Public Affairs, George Washington University (2001). Merantau ke Washington DC bersama Yayi, istrinya—yang juga wartawan Tempo—adalah mimpi masa kecilnya yang menjadi kenyataan. Sambil kuliah, mereka menjadi koresponden TEMPO dan wartawan VOA. Berita bersejarah seperti peristiwa 11 September dilaporkan mereka berdua langsung dari Pentagon, White House dan Capitol Hill.
Tahun 2004, jendela dunia lain terbuka lagi ketika dia mendapatkan beasiswa Chevening untuk belajar di Royal Holloway, University of London untuk bidang film dokumenter. Kini, penyuka fotografi ini menjadi Direktur Komunikasi di sebuah NGO konservasi: The Nature Conservancy (2007-sekarang).Fuadi menguasai bahasa Inggris, Perancis, dan Arab serta pernah menerima penghargaan (award) antara lain: Indonesian Cultural Foundation Inc. Award (2000-2001), Columbus School of Arts and Sciences Award, The Goerge Washington University (2000-2001), dan The Ford Foundation Award (1999-2000).
“Negeri 5 Menara” adalah buku pertamanya dari rencana trilogi. Buku-buku ini berniat merayakan sebuah pengalaman menikmati atmosfir pendidikan yang sangat inspiratif. Diharapkan buku ini bisa membukakan mata, hati serta menebarkan inspirasi ke segala arah. Buku ini dalam waktu 9 bulan sudah terjual 100.000 eksemplar. Ini adalah rekor baru untuk semua buku lokal yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama sepanjang 36 tahun ini. Sebagian royalti buku ini diniatkan untuk merintis Komunitas Menara, sebuah organisasi sosial berbasis relawan (volunteer) yang menyediakan sekolah, perpustakaan, rumah sakit, dan dapur umum secara gratis buat kalangan yang tidak mampu.



Me

Post a Comment

Semua umpan balik saya hargai dan saya akan membalas pertanyaan yang menyangkut artikel di Blog ini sesegera mungkin.

1. Komentar SPAM akan dihapus segera setelah saya review
2. Jika ada Link Download rusak silahkan komentar dibawah ini
3. Jika Anda memiliki masalah silahkan bertanya di papan komentar
4. Silahkan menyertakan link artikel ini yang mau share ke blog Anda .

Credits