SINOPSIS
RANAH 3 WARNA
a) Judul buku :
Ranah 3 Warna
b) Pengarang :
Ahmad Fuadi
c) Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
d) Tebal buku : 473 halaman
e) Tahun terbit :
Tahun 2011
Alif adalah seseorang yang memiliki
cita-cita yang tinggi dia ingin menjadi seperti Habibie, ia memiliki teman
bernama Randai. mereka berdua adalah teman akrab sejak kecil. Namun, di lain
sisi mereka juga saling bersaing. Sekarang Alif telah menyelesaikan pendidikan
agamanya di Pondok Madani. Namun, ia belum memilikii ijazah SMA. Dan ini awal
dari perjuaangan alif untuk mencapai cita-citanya untuk masuk ke sekolah yang
lebih tinggi. Banyak teman di kampungnya yang meragukan kemampuannya
untuk bisa tembus UMPTN, termasuk Randai. Namun Alif tidak berkecil hati, ia
tetap pada mimpinya.
Ia menghiraukan ejekan
teman-temannya dan tetap meraih mimpi. Ia bulatkan tekad untuk belajar lebih
keras lagi dalam belajar, ia meminjam banyak buku kepada teman-temannya dan ia
pelajari setiap hari,hamper setiap hari ia selalu belajar bahkan sampai membuat
orangtuanya khawatir akan kesehatan alif akan down. Atas usaha kerasnya
akhirnya, ia berhasil lulus ujian persamaan SMA meskipun dengan nilai yang
pas-pasan. Namun ia bersyukur dan berjanji akan belajar lebih keras lagi dalam
menempuh UMPTN dengan mantra sakti yang ia peroleh selama belajar di Pondok
Madani; man jadda wa jada. Siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses.
Dalam persiapan menuju UMPTN, ia belajar segenap daya dan upaya. Tak lupa
ia memohon doa dan restu orang tuanya agar dapat lulus UMPTN
Akhirnya, ujian itu pun tiba. Alif
telah memaksimalkan usahanya untuk UMPTN. Beberapa hari setelah itu,hari
yang ditunggu telah tiba yaitu hasil UMPTN, Pagi-pagi benar ia menunggu
bus bersama ayahnya karena hasil UMPTN akan dimuat di koran Haluan. Akhirnya setelah bus
datang, ia cepat-cepat membuka halaman yang memuat pengumuman UMPTN. Dalam
harap dan doa yang tiada putus, ia mencari nama dan nomor ujiannya. Ia
bersyukur sekali ketika mengetahui dirinya lulus UMPTN dan berhasil masuk
menjadi mahasiswa HI UNPAD. Ia bahkan mengabari teman-temannya para
shahibul Menara yang dekat dengannya selama di Pondok Madani dulu. Ia berbagi
kabar bahagia sekaligus berbagi semangat hidup.
Saat waktunya ia harus ke Bandung, namun ayahnya mulai memiliki tanda-tanda kurang
sehat, walaupun berat akhirnya ia berangkat untuk memulai kuliah. Sejak
saat itu, ia tinggal bersama Randai dalam satu kamar kos. Ia
berjanji sampai mendapatkan kos yang baru, baru ia akan tinggal di tempat yang
lain. masa yang baru telah datang,Alif menjadi seorang mahasiswa.. Ada Wira,
Agam, dan Memet mereka adalah teman baru Alif.saat Pada masa-masa perkenalan
kampus ia melihat poster penerimaan awak baru majalah kampus dan ia segera
mendaftar dan dari sini ia mengenal Bang
Togar, seorang senior yang berbakat dalam dunia jurnalisme. Ia berusaha untuk
berguru kepadanya, meskipun sebenarnya Bang Togar adalah seorang yang sangat
keras. Ia harus bersabar ketika hasil menulisnya harus dicoret besar-besar
dengan spidol merah dan harus bolak-balik ke rumah kos Bang Togar ketika ada deadline yang harus ia serahkan
langsung. Pernah suatu ketika ia merasa jenuh dan tak kuat dengan
tuntutan Bang Togar yang keras, namun ia harus menguatkan hatinya dan tetap
bersemangat karena ia menganggap bahwa itu merupakan bagian dari belajar. Ia
juga berkenalan dengan Raisa, cewek yang dikenalinya sehabis turun dari angkot
waktu itu. Entah mengapa ia merasa ada yang lain dengan dirinya ketika
berpapasan dengan gadis yang memesona itu.
Alif telah melewati
semester satu. Ia senang ketika mendapatkan hasil belajar yang baik dan
tulisannya di muat di majalah dinding kampus. Ketika itu, Ayah dan Amaknya yang
ada di kampung ingin mengunjunginya ke Bandung. Ia merasa senang sekali. Ia
berusaha merayu Randai agar dia mau meminjakan kamarnya dan akhirnya Randai
setuju.namun ketika mendekati hari kedatangan orang tuanya ia mendapat telegram
dari Amak yang mengabarkan bahwa Ayahnya sedang sakit. Ia menyuruh
Alif untuk segera pulang. Dengan seketika, ia bergegas menuju Sulawesi dengan
menaiki bus dengan meminjam uang Randai. Sesampainya di rumah, Alif segera
menemui ayahnya yang ternyata sedang terbaring lemas di rumah sakit. Ayahnya
yang melihatnya senang, karena anak bujangnya itu pulang. Namun Alif tak sampai
hati melihat ayahnya itu. Ayahnya kini semakin kurus, bahkan cincin di jarinya
pun longgar. Ayah merasa bangga kepada Alif. Pada suatu hari, ayah memintanya
untuk berfoto bersama dalam ruangan rumah sakit itu, sekeluarga berlima.
Hari demi hari Alif telaten dan bersedia mengurus ayahnya selama di rumah
sakit. Hingga kesehatan ayahnya benar-benar pulih dan akhirnya dipersilakan
pulang ke rumah oleh
dokter.
Alif senang mendengar pernyataan
dokter yang memperbolehkan ayahnya kembali pulang ke rumah. Kesehatan ayahnya
memang berangsur-angsur pulih. Ia pun ingin segera kembali ke Bandung. Namun,
hari itu pula ia harus menyaksikan ayahnya yang batuk-batuk, kedinginan,
dan sungguh di luar dugaan, hari itu ayahnya meninggal, meninggalkan Alif,
Amak, beserta adik-adiknya untuk selamanya.sebelum meninggal beliau memberikan
pesan agar selalu menjaga amak dan adik-adiknya. Akhirnya ia harus berlapang
dada dan benar-benar berjanji untuk melakukan apa yang diperintahkan ayah:
tetap lanjut kuliah dan menjaga Amak dan adik-adiknya.
Selama beberapa hari berkabung itu,
Alif harus benar-benar ikhlas merelakan kepergian sang ayah. Ia harus kembali
ke Bandung. Dengan meminta izin kepada Amak yang disayanginya, ia harus segera
kembali ke Bandung dan tetap melanjutkan kuliahnya, meskipun ia tak tahu
harus bagaimana hidup di rantau dalam posisi sebagai anak yatim.
Setibanya di Bandung, ia disambut
hangat oleh teman-temannya, termasuk Randai. Mereka mengucapkan rasa
belasungkawa atas meninggalnya ayah Alif. Alif kini harus melewati hari-hari
normal dalam berkuliah. Namun ia sadar, amaknya di kampung sana bekerja keras
untuk dapat membiayai Alif. Ia tak sampai hati dan merasa terlalu
memberatkan Amaknya. Ia tak tega. Dan sejak saat itu, ia mulai merambah
usaha-usaha. Ia bahkan menjual produk-produk yang digemari ibu-ibu. Ia
berjualan songket, kain tenun, mukena, bahkan aksesoris lainnya. Ia menekan
segenap ego dan gengsi. Sejak saat itu ia berusaha bagaimana caranya
untuk bisa membiayai diri sendiri dan juga Amaknya. Nilai-nilai kuliah Alif
sempat turun, bahkan beberapa ada nilai yang C dan D. Ia sangatlah fokus kepada
produk yang dijualnya. Hingga akhirnya ia sampai jatuh sakit. Ia terkena tifus
selama tiga minggu. Ia semakin tak berdaya ketika ia dirampok beberapa orang
tak dikenalnya.
Saat dalam keadaan yang hampir putus
asa, Alif teringat pada mantra sakti yang ia dapatkan selama belajar di Pondok
Madani dulu, man shabara zhafira: siapa yang bersabar akan beruntung.
Sejak saat itu, ia menyerahkan segenap hidupnya pada Allah, dengan kesabaran
dan keikhlasan hatinya. Mengingat mantra sakti itu, Alif berusaha bangkit.
Ia kembali menemui bang Togar untuk belajar menulis seperti dulu. Walaupun
ditempa habis-habisan Alif harus bersabar ketika tulisannya dicoret, dan akhirnya
beberapa tulisannya pun di muat di surat kabar. Ia senang sekaligus bangga
karena saat itu ia mulai dikenal orang. Alif terus memulai langkah hidup baru.
Ia kini semakin focus pada kegiatan tulis-menulisnya. Ia kini bahkan mampu
mengirimi uang kepada Amak di kampung.
Suatu ketika, Alif berselisih
paham dengan sahabat karibnya, Randai. Gara-gara meminjam komputer itu,
hubungan persahabatan mereka nampak renggang. Akhirnya, sejak saat itu Alif
memutuskan untuk mencari kos baru dan ia pun berjanji dalam hati untuk tidak
meminjam barang kepada orang
lain.
Alif semakin bersemangat menjalani
hidupnya. Impiannya sudah banyak yang terkabul. Kini ia punya mimpi yang besar:
mendapat beasiswa ke luar negeri. Dalam perjalanan kuliahnya, Alif mencoba mengikuti tes
pertukaran pelajar ke Amerika, bermodalkan niat dan tekad, Alif pun berhasil
lolos dengan berbagai pertimbangan yang diberikan oleh panitia. Kanada! Ya itu
tempat yang akan Alif tuju, impiannya untuk menginjakkan kaki di Amerika
akhirnya tercapai. Raisa yang merupakan perempuan yang Alif sukai, ia juga
lolos seleksi pertukaran pelajar. Dari pertukaran pelajar tersebut Alif menjadi
banyak teman.
Tiba waktunya Alif beserta segenap
duta Indonesia pergi ke Kanada untuk melaksanakan misi pertukaran mahasiswa. Ia
bertemu dengan teman-teman yang unik, temasuk Rusdi sang kesatria berpantun.
Ketika sesampainya di Kanada, ia dibagi oleh sang kakak yang memandu. Alif
ditempatkan di Quebec, bersama Franc Pepin. Mereka pun sangat beruntung
memiliki keluarga asuh yang baik. Frandinand dan Mado.
Sejak mengikuti pertukaran itu, Alif
pun semakin berambisi untuk bisa mempersembahkan medali emas dan menunjukkan
kepada dunia bahwa ia bisa berprestasi. Ia ingin mengalahkan Rob, pemuda
berkebangsaan Kanada yang arogan itu. Akhirnya, dengan kerja keras dan
memantapkan segenap daya dan upayanya berdasarkan man jadda wa jadda ia berhasil bersama Francois Pepin
merebut medali emas. Ia pun berhasil menarik perhatian Raisa. Semakin hari,
nampaknya ia semakin jatuh hati kepada gadis itu. Pernah ia datang ke kantor
Raisa, namun lagi-lagi ia tak berhasil menyampaikan maksudnya itu.
Bersama duta Indonesia yang lain di
Kanada, Alif berhasil membawa nama Indonesia. Mereka sukses mempertunjukkan
kebolehan mereka memainkan tarian adat dan memasak makanan
asli Indonesia yang memikat. Selain itu, berdesir dalam darah mereka nama
Indonesia, negeri tercinta yang kini mampu sejajar dengan bangsa yang lain.
Semakin menggelegak semangat mereka memperjuangkan tanah sendiri di rantau.
Setahun berlalu, Alif dan rombongan pertukaran pelajar
kembali ke Indonesia. Beberapa tahun kemudian, Alif lulus, tapi di hari
kelulusan itu, saat dia ingin menyerahkan surat tersebut ke Raisa, hal yang
tidak disangka terjadi, Raisa telah bertunangan dengan Randai, kawan karibnya!
Dengan perasaan yang campur aduk dia berusaha mencoba untuk menerimanya.
Setelah 10 tahun, Alif menepati janjinya ke Franco Peppin untuk mengunjungi dia
kembali di Kanada dengan seorang istrinya. Di puncak bukit kota itu dia menatap
terbitnya matahari dengan istrinya, dia bernostalgia dengan perjuangannya yang
keras dia bisa menjadi besar seperti ini, berkat 2 mantra dari Pondok Madani “man jadda wa jadda” dan “man shabara zhafira.”.
A. UNSUR INTRINSIK
1.
TEMA : Perjuangan hidup untuk mencapai cita-cita
2.
PENOKOHAN
ALIF FIKRI adalah tokoh utama dalam novel ranah 3 warna
yang tengah berjuang dalam menggapai cita-cita.
·
Mudah putus asa
“Waktu itu impianku adalah menjadi
seperti Habibie dan belajar sampai Amerika. Tapi lihatlah aku hari ini.
Memancing seekor ikan danau pun tidak bisa. Apalagi menggapai cita-citaku”
(Ranah 3 Warna, hal.3)
“Tapi Yah, hanya 2 bulan? Untuk belajar
pelajaran 3 tahun?” Aku menghela napas panjang, antara bingung dan gentar.
Bisakah aku?(Ranah 3 Warna, hal 6)
“Dengan modal ini bagaimana aku akan
lulus UMPTN? Randai bahkan mungkin akan terhelak atau malah kasihan melihat
nilaiku nanti”..(Ranah 3 Warna, hal 14)
·
Pantang menyerah
“Jangan
banyak tanya!” teriakku. Lihat saja nanti. Kita sama-sama buktikan!” kataku
dengan nada tinggi. (Ranah 3 Warna, hal.4)
“Insya
Allah Yah, ambo akan berjuang habis-habisan untuk persamaan ini dan untuk
UMPTN”( Ranah 3 Warna, hal. 6)
“Aku
ingin membuktikan kepada mereka semua, bukan mereka yang menentukan nasibku,
tapi diriku dan Tuhan. Aku punya impianku sendiri. Aku ingin lulus UMPTN,
kuliah di jalur umum untuk bisa mewujudkan impianku ke Amerika (Ranah 3 Warna,
hal.8)
“Jangankan
setahun, tiga tahun pun akan aden lakukan demi mencapai cita-cita...” ( Ranah 3
Warna, hal.10)
“Bismillah.
Ayo, kawan hitamku, kita taklukkan dunia,”bisikku.( Ranah 3 Warna, hal.42)
“Hari
ini aku memutuskan bangkit dari sakitku” ( Ranah 3 Warna, hal.133)
·
Jujur
“Joki?
Aku menggeleng keras untuk perjokian. Apa gunannya ajaran Amak dan Pondok
Madani tentang kejujuran dan keikhlasan?” ( Ranah 3 Warna, hal 8)
·
Pekerja keras
“Jangan
diganggu”, begitu tulisan besar yang aku temple dipintu kamar.Pintu kamar pun
aku kunci dan sudah berhari-hari aku mengurung diri, hanya ditemani bukut-bukit
buku. Bahkan kalau adikku diam-diam mengintip dari balik pintu, aku halau
mereka...(Ranah 3 Warna, Hal. 15)
·
Bertawakal
Aku mencoba menghibur diriku. Toh aku telah
melakukan usaha diatas rata-rata. Telah pula aku sempurnakan kerja keras dengan
doa. Sekarang tinggal aku serahkan pada Tuhan. Aku coba ikhlaskan semuanya.
(Ranah 3 Warna, hal. 28)
·
Bijaksana
“Ambo
sudah biasa merantau ke Jawa, jadi janganlah Ayah khawatir. Tapi melihat
kondisi Ayah, malah Ambo yang cemas. Ambo akan tunggu Ayah sehat dulu” ( Ranah
3 Warna, hal.39)
·
Patuh kepada orangtua
“Nak, sudah wa’ang patuhi perintah Amak
untuk sekolah agama, kini pergilah menuntut ilmu sesuai keinginanmu...” kata
Amak. (Raah 3 Warna, hal.41)
·
Mudah bimbang
“Mana yang harus aku patuhi? Wasiat Ayah untuk
membela Amak dan adik-adikku, dengan mengorbankan kuliah? Atau tunduk pada
“ancaman” Amak untuk terus kuliah. Tapi merasa bersalah karena membebani
beliau?” ( Ranah 3 Warna, hal.105)
RANDAI
adalah sahabat karib Alif yang kuliah di ITB.
·
Sombong
“Randai hanya melirikku sambil tersenyum timpang seperti
tidak yakin. Bola matanya berputar malas. Lagaknya selalu kurang ajar” (Ranah 3
Warna, hal.3).
“Hmm. Kuliah di
mana setelah di pesantren? Emangnya wa’ang bisa kuliah ilmu umum? Kan tidak ada
ijazah SMA? Bagaimana akan bisa ikut UMPTN?” Pertanyaan Randai berentetan dan
berbunyi sengau.” (Ranah 3 Warna, hal.4)
·
Merendahkan orang lain
“Hmm, kuliah di mana setelah pesantren?
Emangnya wa’ang bisa kuliah ilmu
umum? Kan tidak ada ijazah SMA? Bagaimana
akan bisa ikut UMPTN?”.( Ranah 3 Warna, hal.4)
·
Baik Hati
“Randai tampaknya kasihan padaku”
( Ranah 3 Warna, hal.62)
“lif,kita
kan kawan,tinggal saja dulu disini sampai ketemu kos yang pas.” ( Ranah 3
Warna, hal.62)
“Randai
ternyata serius membantuku untuk berjualan pakaian” ( Ranah 3 Warna, hal.116)
·
Setia kawan, baik hati, mau menolong
“Atau begini saja. Bagaimana kalau gabung saja dengan aku di sini, kita
bisa patungan bayar berdua kamar ini.” (Ranah 3 Warna, hal.62)
·
Pemarah
“Mana mungkin wa’ang bisa bantu. Ini kan pelajaran Teknik, pasti nggak ngerti!”
suaranya meninggi “Tadi diapakan ini? Bertahun-tahun komputer ini tidak pernah
rusak!” Tangannya sekarang membuka kap CPU dengan kasar, mencabut beberapa
kabel sekali renggut dengan keras.” (Ranah 3 Warna, hal 168)
AYAH
ALIF FIKRI adalah lelaki yang sangat menyayangi Alif dan memiliki hobi yang
sama dengan anaknya.dalam novel ini ayah alif termasuk tritagonis
·
Bijaksana
“Ayah
mungkin yang paling tahu perasaan yang aku simpan. Setahun lalu, beliaulah yang
datang jauh-jauh dari Maninjau menemuiku di Ponorogo, hanya untuk menjinakkan
hatiku ketika aku ingin sekali keluar dari Pondok Madani auat PM” (Ranah 3
Warna, hal. 5).
“Semoga
bisa lulus UMPTN ya, Nak. Hanya biaya kuliah di universitas negeri yang mungkin
bisa kita bayar,” kata Ayah lirih (Ranah 3 Warna, hal.6)
“Nak,
ingat-ingatlah nasihat para orangtua kita. Di mana bumi dipijak, di situ langit
dijunjung jangan lupa membawa nama baik dan kelakuan. Elok-elok di negeri
orang. Jangan sampai berbuat salah.” ”(Ranah 3 Warna, hal.
41)
·
Menepati janjinya
“Alif, ini semua formulir yang harus diisi.
Waktu ujian persamaan SMA tinggal 2 bulan lagi. Sekarang tugas wa’ang untuk belajar keras. (Ranah 3
Warna, hal.5)
·
Penuh perhatian
“Ayah dan Amak akan doakan dengan sepenuh
hati,” kata Ayah menatapku. Tangannya mengusap kepalaku sekilas. (Ranah 3
Warna, hal.25)
·
Keras kepala
“Sebetulnya, Pak Mantri Pian sudah
menganjurkan Ayah untuk banyak beristirahat, tapi dia tetap juga keras kepala
untuk batanggang menonton Piala Eropa
bersamaku sampai subuh” (Ranah 3 Warna, hal.31)
AMAK adalah seorang ibu yang sangat baik hati
·
Baik hati, bijaksana, penyayang
“Nak, sudah wa’ang patuhi perintah Amak untuk sekolah agama,
kini pergilah menuntut ilmu sesuai keinginanmu. Niatkanlah untuk ibadah, insya
Allah selalu dimudahkanNya. Setiap bersimpuh setelah salat, Amak selalu berdoa
untuk wa’ang,” kata Amak. (Ranah 3
Warna, hal.41)
BANG TOGAR adalah pengajar Alif, dia mendidik alif
dengan keras dalam menulis untuk diterbitkan di media massa.
·
Tegas
“Mau pintar kok pakai tawar-tawar. Tulisan
urusan kau. Kalau serius, datang bawa satu tulisan besok. Kalau tidak bisa,
tidak usah sekalian. Titik” (Ranah 3 Warna, hal.68).
“Enak
saja 1 bulan. Kau hilang hampir setengah tahun, tau!” (Ranah 3 Warna, hal.138).
“Yakin tahan? Aku akan didik kau keras
seperti dulu, bahkan akan lebih keras. Siap kau?” (
Ranah 3 Warna, hal.139)
·
Baik hati
“Sabar ya, Lif. Doakan bapak kau
sering-sering” ( Ranah 3 Warna, hal.139)
“Sabar-sabar
saja kau, ambil hikmahnya. Masih tahan,kan?” ( Ranah 3 Warna, hal.140)
“Dia memang orang Batak
yang tanpa basa-basi. Keras, tapi aku tahu hatinya baik” ( Ranah 3 Warna,
hal.144)
“Yang penting
kasih orang yang nggak mampu, anak yatim piatu” ( Ranah 3 Warna, hal.155)
RAISA
yaitu wanita yang memiliki daya tarik bagi Alif dan Randai.
·
Percaya diri
“Acara ditutup dengan Raisa tampil di depan.
Seragam jas biru tua semakin menambah aura percaya dirinya yang besar.” (Ranah
3 Warna,hal. 228)
RUSDI :
·
Percaya diri
“ Kita seperti sedang menyamar. Sayang sekali
mereka, para gadis, itu tidak tahu. Rugilah mereka. It’s their loss, not ours,” (Ranah 3 Warna, hal.424)
MADO:
·
Baik hati, berhati lembut, penuh perhatian
“Mado,
perempuan berambut pirang yang lembut hati ini selalu telaten membakar roti isi
omelet yang gurih buat sarapanku.
Sering dia berlari-lari tiba-tiba menyusulku yang sudah naik ke sadel sepeda,
hanya untuk memasukkan lagi sebungkus biskuit.” (Ranah 3 Warna, hal.428)
FERDINAND:
· Banyak
berbuat daripada bicara, perhatian, baik hati
“Sedangkan
Ferdinand banyak berbuat daripada bicara. Aku pernah bilang harus mengirim
artikel setiap minggu ke koran di Bandung. Diam-diam dia menghubungi anak
sulungnya, Jeaninne yang sudah bekerja di Quebec City, menanyakan apakan punya
komputer yang tidak dipakai.” (Ranah 3 Warna, hal.428)
KAK MARWAN:
·
Bijaksana
“Tugas kalian
adalah sebagai duta muda bangsa di mata orang Kanada. Jadilah cerminan orang
Indonesia yang terbaik. Gunakan setiap kesempatan untuk menjadi yang terbaik,” (Ranah
3 Warna, hal.264)
WIRA
·
Pemarah, pemberani
“Di kananku,
Wira si kera ngalam yang berparas
putih ini telah menjelma seperti udang rebus. Merah padam. Matanya tak
lepas-lepas menantang telunjuk Jumbo yang menghardiknya.” (Ranah 3 Warna, hal.
54)
AGAM
·
Mudah bergaul, humoris, baik hati, usil
“Agam adalah perekat kami. Dia selalu punya
humor heboh untuk diceritakan. Agam suka mengikat sepatu orang lain atau
melempat bola kertas untuk mengusili teman yang mengantuk.” (Ranah 3 Warna, hal.59)
MEMET
:
·
Cinta damai, suka membantu
“Memet juga berbadan subur, tapi kebalikan
dari Agam. Dia pecinta damai dan selalu melarang Agam berbuat usil. Kegiatan
utama memet adalah sibuk membantu siapa aja. Kalau kami kehausan, dia akan
dengan senang hati mengangsurkan botol minum.” (Ranah 3 Warna, hal. 60)
3.
LATAR
LATAR
TEMPAT :
·
Kampus
Kampusku,
jurusan Hubungan Internasional, terletak di perbukitan Dago, menempel dengan
Dago Tea Huiss.”( Ranah 3 Warna,hal. 64)
·
Kamar Alif
Kamarku kini seperti toko
barang bekas (Ranah 3 Warna, hal. 9)
·
Sumatra
Barat
“Aku duduk di sebuah aula luas milik IKIP Padang bersama
ratusan anak muda lain sari segala penjuru Sumatra Barat”
·
Maninjau
“Batu sebesar gajah ini menjorok ke Danau Maninjau, dianungi sebatang pohon
kelapa yang melengkung seperti busur.” (Ranah 3 Warna, hal. 1)
“..., dua jenis ikan kecil yang hanya ada di Danau
Maninjau, dan teriakan Randai yang lagi-lagi mendapatkan ikan yang entah berapa
ekor”(Ranah 3 Warna,hal.3)
“Setelah ujian, aku pulang ke Maninjau dengan
hati yang tidak pernah tenang” (Ranah 3 Warna,hal. 27)
“Dengan
duit pinjaman dari Randai, malam itu juga aku pulang ke Maninjau.” (Ranah 3
Warna,hal. 86)
·
Depan kos
Bang Togar
“Dengan terengah-engah aku sampai juga di
depan kos Bang Togar.” (Ranah 3 Warna, hal. 73)
·
Cibubur
”Begitu menginjakkan si Hitam di gerbang kamp persiapan Cibubur.” (Ranah 3
Warna, hal. 218)
·
Montreal
“Setelah beberapa hari di Montreal, aku mulai
berani untuk berjalan-jalan sendiri.” (hal. 261)
·
Bandung
“Rem angin bus
ANS mendesis-desis ketika mulai memasuki wilayah kota Bandung” (Ranah 3 Warna,
hal.43)
“Hoi, sampai
juo kawan ko di Banduang. Ah, sampai juga kawan ini di Bandung”(Ranah 3
Warna, hal.44)
Hampir
setahun aku di Bandung.” (Ranah 3 Warna,hal. 83)
·
Rumah kos
Randai
“Akhirnya
aku sampai di rumah kos Randai, sebuah rumah yang terjebak diantara rumah-rumah
penduduk di salah satu ujung gang.” (Ranah 3 Warna,hal.44)
·
Kota
Amman
“Begitu satu bus besar kami membelah Kota Amman, Semua mata kami kini
terbuka lebar.” (Ranah 3 Warna,hal. 238)
·
Kanada
“Tidak salah kalau orang Kanada menjadikan daun maple merah
sebagai gambar bendera mereka”
“Alif, saya ingih minta bantuan kamu untuk mengajarkan
cara menulis selama kita di Kanada ini. Mau ya?”
(
Ranah 3 Warna, hal.356)
“coba dengar
baik-baik.hari ini sangat penting.bahkan mungkin paling penting selama kalian
di Kanada…”( Ranah 3 Warna, hal.264)
·
Quebec-Saint Raymond
“Bus kuning kami menderum di jalan
mulus Quebec”
“Bagaimana kalau di puncak tertinggi Saint-Raymond?
Namanya Mont Laura. Baru kemarin... ”
“Dalam hitungan bulan, pelan-pelan, kami anak-anak
Indonesia menjelma menjadi selebriti lokal di Saint-Raymond.” (Ranah 3 Warna,
hal. 433)
LATAR
WAKTU
·
Pagi
“Pagi-pagi aku lihat selimt dan
sepraiku di sekelilingku kusut masai” (Ranah 3 Warna,hal.25)
“Belum pernah
aku melihat senyum Ayah seperi pagi ini. Tanpa suara, sungguh senyum yang lebar
dan terang”(Ranah 3 Warna, hal.30)
“Pagi-pagi buta
Amak membangunkanku” ( Ranah 3 Warna, hal.93)
“Pagi itu
Bandung hujan lebat dan banyak teman yang terlambat masuk kelas Politik
Internasional,...” ( Ranah 3 Warna, hal.148)
“Pada suatu pagi, Bandung begitu
gelap seperti sudah malam.” (Ranah 3 Warna, hal. 81)
“Hari Minggu pagi ini, Mado dan Ferdinand terus mondar
mandir di dapur.” (Ranah 3 Warna, hal. 313)
·
Sore
“Sore itu langit Bandung kelam dan angin datang
menderu-deru”(Ranah 3 Warna, hal.51)
“Beberapa kali
aku melihat dia duduk di teras kos seberang hanya untuk mengobrol dengan Raisa
sore-sore” ( Ranah 3 Warna, hal.82)
“Sore itu,
sepulang kuliah, dengan naik angkot aku antar naskahku ke redaksi sebuah koran
daerah” ( Ranah 3 Warna, hal.145)
·
Malam
“Aku menggeliat dan
melihat jam. Sudah jam 8 malam”(Ranah 3 Warna, hal.43)
“Rambut dan bajuku
basah, tapi aku tidak berani berhenti karena takut akan semakin kemalaman”(Ranah
3 Warna, hal.44)
LATAR SUASANA
·
Tegang
“Satu-satu butir keringat dingin
merambat turun di kening dan punggungku. Astagfirllah, banyak soal yang di luar
perkiraanku. Beberapa soal aku sama sekali tidak tahu jawabannya” (
Ranah 3 Warna, hal.27)
“Setelah ujian,
aku pulang ke Maninjau dengan hati yang tidak pernah tenang” ( Ranah 3 Warna,
hal.27)
“Kali ini para
senior benar-benar melabrak kami. Di tengah hiruk pikuk aku merasa keningku
dihantam sebuah tangan” ( Ranah 3 Warna, hal. 57)
“Tulang
tangannya yang kurus menjepit kerongkonganku dari belakang. Aku ingin meronta
tapi urung karena sebuah benda dingin melingkari dan menekan urat leherku” (
Ranah 3 Warna, hal.121)
·
Bahagia
“Belum pernah aku mellihat senyum Ayah seperi pagi ini.
Tanpa suara, sungguh senyum yang lebar dan terang” (
Ranah 3 Warna, hal.30)
·
Sedih
“Aku prihatin menatap Ayah. Sudah aku perhatikan sejak
beberapa minggu ini mukanya semakin tirus dan pucat. Aku bahkan tidak berani
meninggalkan Ayah dalam kondisi begini” ( Ranah 3 Warna,
hal.39)
“Lalu beberapa
isakan pecah pelan-pelan. Terbit dari arah Amak dan adik-adikku yang duduk di
pinggir dipan. Mereka berangkulan” ( Ranah 3 Warna, hal.95)
“Aku coba
berlaku ikhlas dengan membisikkan innalillah wainna ilahi rajiun” (
Ranah 3 Warna, hal.96)
·
Haru
“Aku tidak mau terbawa haru melihat empat orang yang aku
sayangi melambai-lambaikan tangan tak putus-putus”
( Ranah 3 Warna, hal.42)
4. Alur.
Novel ini memiliki alur maju dan mundur.
Alur maju yang menceritakan perjuangan tokoh Alif dalam
mendapat ijazah untuk masuk ke sekolah yang lebih tinggi, dikarenakan alif
hanya lulusan pesantren. “Alif, ini semua formulinya yang harus diisi. Waktu
ujian persamaan SMA tinggal 2 bulan lagi. Sekarang tugas waa’ang untuk belajar
keras,”. (Ranah 3 Warna,hal.5)
Alur mundur yang membuat Alif bernostalgia kembali dalam
kenangannya ketika menyatren di pondok madani. “tiba-tiba aku merinding,
merasakan energi semangat dari pondok madani mengerubutiku. Dan kenangan itu
kini hadir bertubi-tubi”. (Ranah 3 Warna, hal. 131)
5.
SUDUT
PANDANG
Sudut pandang dalam novel ini adalah
orang pertama pelaku utama. Dari tahap pengenalan masalah sampai tahap anti
klimaks “Aku” selalu bercerita tentang dirinya. Hal ini dapat dibuktikan dengan
beberapa kutipan,
“Aku coba berlaku ikhlas dengan membisikkan innalillah
wainna ilahi rajiun” ( Ranah 3 Warna, hal.96)
“Aku
tidak mau terbawa haru melihat empat orang yang aku sayangi melambai-lambaikan
tangan tak putus-putus” ( Ranah 3 Warna, hal.42)
6.
GAYA
BAHASA
Majas metafora:
Aku akan
mengingat selalu nasehat terakhir ayah, yang jelas kita tidak bisa menonton
bola bersama lagi. Kecuali di surga ada sepak bola. Kita juga tidak akan bisa
berburu durian bersama lagi, kecuali pohon durian juga tumbuh di surga. (Ranah
3 Warna,hlm.98)
Aku terlonjak seperti disengat
listrik. Aku ingat sesuatu. Tanganku cepat merogoh kebawah bantal, mencari
dompetku. (Ranah 3 Warna,hlm.132).
Majas
Litotes :
Aku pun tahu macam mana mengobati
kau. Yok, kita pergi sekarang juga. Ke rumah sakit malas. (Ranah 3 Warna, hlm.160).
7.
AMANAT
Kita harus
selalu bersabar dalam menghadapi setiap tantangan hidup yang diberikan kepada
Tuhan untuk kita,karena Tuhan pasti akan memberikan jalan untuk melewatinya.
Seperti yang dikatakan Bang Togar, kita memiliki askes pendidikan. kenapa kita
malas? harusnya kita bersyukur kepada Tuhan karena kita masih termasuk orang
yang beruntung.rajinlah belajar selama masih memiliki kesempatan
B.
UNSUR
EKSTRINSIK
1.
Nilai Religius :
Manusia bisa berencana,
namun Tuhanlah yang menentukan.
Bukti :
“Telah pula aku sempurnakan kerja keras dengan doa. Sekarang tinggal aku
serahkan kepada putusan Tuhan. Aku coba ikhlaskan semuanya. “
”Kalau aku
sudah bingung dan terlalu capek menghadapi segala tekanan
hidup, aku praktikkan nasihat Kiai Rais, yaitu siapa saja yang mewakilkan
urusannya kepada Tuhan, maka Dia akan ‘mencukupkan’ semua kebutuhan kita.”
Kita harus sabar dalam
menjalani hidup.
Bukti :
“Perjuangan tidak hanya butuh kerja keras, tapi juga kesabaran dan
keikhlasan untuk mendapat tujuan yang diimpikan. Kini, terang di mataku, inilah
masa paling tepat buatku untuk mencoba bersabar. Agar aku beruntung. Agar Tuhan
bersamaku.”(Ranah 3 Warna,hal 135)
2.
Nilai Moral :
Sebagai sesama ciptaan Tuhan,
kita tidak boleh merendahkan dan meremehkan kemampuan orang lain.
Bukti:
“Randai hanya melirikku sambil tersenyum timpang seperti tidak yakin. Bola
matanya berputar malas. Lagaknya selalu kurang ajar.” (Ranah 3 Warna, hal.3).
“Hmm, kuliah dimana setelah pesantren? Emangnya wa’ang bisa kuliah ilmu
umum? Kan tidak ada ijazah SMA? Bagaimana akan bisa ikut UMPTN?” (Ranah 3 Warna, hal.4).
“Kalau gitu, jauh panggang dari apilah. Aden
saja dua kali mencoba baru tembus. Padahal NEM aden tinggi” (Ranah
3 Warna, hal.7).
Dalam setiap kesempatan
dan kondisi tertentu, tetaplah menjadi diri sendiri dan berlaku
baik dalam segala hal, termasuk bersikap jujur.
Bukti
:
“Joki? Aku menggeleng keras untuk perjokian.
Apa gunanya ajaran Amak dan Pondok Madani tentang kejujuran dan keikhlasan?”
( Ranah 3 Warna, hal 8)
Kita harus berbakti kepada orang tua.
Bukti:
“Aku mengambil piring bubur dari tangan Amak. Sesendok
demi sesendok aku suapi ayah. Sesekali aku bersihkan sisi bibirnya dengan
saputangan.” (Ranah 3
Warna, hal.91).
“Aku akan
mendoakan Ayah dari sini. Aku akan mencoba menjadi anak yang saleh yang terus
mendoakanmu, supaya menjadi amalmu yang tidak akan putus. Aku akan
mengingat selalu nasihat terakhir Ayah.” (Ranah 3 Warna, hal 98).
“Apa gunanya
masa muda kalau tidak untuk memperjuangkan cita-cita besar dan membalas budi
orang tua? Biarlah tulang mudaku ini remuk dan badanku susut. Aku ikhlas
mengorbankan masa muda yang indah seperti yang dinikmati kawan-kawanku.” (Ranah 3 Warna, hal.117).
3.
Nilai Sosial
Sebagai
makhluk sosial kita harus saling tolong-menolong dalam setiap keadaan
apapun itu (baik maupun buruk).
Bukti :
“Untunglah
Zulman, temanku yang resik menjaga catatannya, dan Elva, yang punya
semua buku SMA , bersedia meminjamiku.” (Ranah 3 Warna, hal.9).
“Kalau tidak
ada penjual bakso yang berbaik hati menunjukkan jalan, aku sudah pasti
tersesat di gang yang berliku-liku ini.” (Ranah 3 Warna, hal.44).
“Lif, kita
kan kawan, tinggal saja dulu disini sampai ketemu kos yang pas.” (Ranah 3 Warna, hal.62).
Memberikan sedekah kepada fakir miskin
Bukti :
“Sore itu, aku datangi sebuah panti
asuhan di Jalan Nilem. Aku kais-kais lembar terakhir isi dompetku
dan aku serahkan ke bapak pengurus panti itu.” (Ranah 3 Warna, hal.155).
Menjaga kepercayaan (dalam
persahabatan).
Bukti :
“Aku merasa ada sesuatu yang longsor dari
hubunganku dan Randai. Kepercayaan. Dan sialnya masalah kepercayaan ini rusak
hanya gara-gara pinjam-meminjam.” (Ranah 3 Warna, hal.172).
4.
Nilai Budaya
Nilai ini mengandung
kebiasaan yang sering dilakukan tokoh bersama tokoh yang lain.
Bukti :
“Sejak kecil, kami konco palangkin.
Kawan sangat akrab. Pada bulan puasa, kami bahu-membahu menebang betung untuk
membikin meriam bambu. Tapi malamnya kami saling berlomba membuat meriam
yang meletus paling keras.”
(Ranah 3 Warna, hal.4).
“Sejak kecil
aku sering diajak Ayah menonton pertandingan sepak bola, mulai dari kelas
kampung sampai kabupaten. Selain berburu durian, menonton sepak bola adalah
waktu khusus aku dengan Ayah. Hanya kami berdua saja.” (Ranah 3 Warna, hal.18).
5.
Nilai Pendidikan
Kita harus memiliki mimpi
dan kemauan yang keras untuk meraih mimpinya. Niat adalah awal yang baik dalam
memulai mimpi.
Bukti :
“Pagi
itu, dengan mengepalkan tinjuku, aku bulatkan tekad, aku
bulatkan doa: aku akan lulus ujian persamaan SMA dan berperang menaklukkan
UMPTN”(Ranah 3 Warna, hal 9)
“Bila aku bosan belajar, aku bisikkan ke
diri sendiri nasihat Imam Syafi’i, “berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa
setelah lelah berjuang.” (Ranah 3 Warna, hal.26)
“Awalnya aku
kesal, tapi lama-lama aku berpikir kenapa aku tidak menggunakan penolakan
sebagai pecut untuk malah bermimpi lebih besar: berburu beasiswa ke luar
negeri.” (Ranah 3 Warna, hal.178).
Seberat apapun ujian yang
kita dapat, jangan bersikap pesimis dan rendah diri. Tetap optimis, tetap
berjuang dan tetap semangat.
Bukti :
“Semakin banyak yang melihat aku dengan
sebelah mata, semakin menggelegak semangatku untuk membuktikan bahwa kita
tidak boleh meremehkan orang lain, bahkan tidak boleh meremehkan impian kita
sendiri, setinggi apa pun.”
“Dengan
segenap jiwa, aku tegaskan bahwa aku tidak mau menjadi pecundang, orang yang
kalah sebelum berjuang. Setiap pikiran sumbang yang mencoba tumbuh
di kepalaku, aku serang balik.”
Dalam menjalani hidup, kita tidak boleh
bermalas-malasan.
Bukti :
“Coba kau lihat. Berapa pun mereka bekerja
keras, kemungkinan besar mereka tetap jadi orang miskin. Begitu juga anak
keturunan mereka nanti. Begitu seterusnya. Sedangkan kau, boleh tidak punya
duit, tapi kau ada kesempatan untuk berhasil, bahkan membantu orang
seperti mereka. Mereka tidak punya akses untuk pendidikan, kau punya. Kau orang
yang beruntung. Tidak pantas kau malas!”(Ranah 3 Warna, hal.162)
“Dulu waktu
aku baru merantau ke Bandung, aku tidak punya apa-apa. Hanya
modal nekat. Awalnya aku gampang mengasihani diriku sendiri, lalu
malas-malasan dan menyalahkan nasib. Tak sengaja aku lewat di dekat tempat ini.
Aku melihat pedihnya hidup mereka di kampung ini. Sampai disini aku baru tahu
bahwa aku jauh lebih beruntung. Sungguh tidak pantas aku bermalas-malasan.”( Ranah
3 Warna, hal.163)
6.
Nilai Estetika
Nilai yang berkaitan dengan
unsur keindahan yang nampak dalam
kehidupan tokoh sehari-hari.
Bukti :
Langit
bersih terang, Bukit Barisan menghijau segar, air Danau Maninjau yang
biru pekat, dan angin danau yang lembut mengelus ubun-ubun. Ranah 3
Warna, hal.2)
Kampusku,
Jurusan Hubungan Internasional terletak di pinggang perbukitan Dago,
menempel dengan Dago Tea Huiss.
Bangunannya tua, bergaya art deco yang
lurus-lurus dinanungi rimbunan pohon-pohon tanjung yang besar. Jalan
aspal mendaki ke kampus ini diseraki daun besar-besar yang gugur. Burung sibuk
bercericit di sana-sini. (Ranah 3 Warna, hal. 54)
Begitu
sampai di depan terminal kedatangan yang teduh, aku julurkan tanganku untuk
menyentuh daun maple yang selama ini hanya aku lihat di gambar. Daunnya
agak lonjong dengan gerigi besar-besar di sekelilingnya, permukaannya terasa
kesat dan bertulang lunak. Ada yang hijau segar, ada yang kuning, dan ada yang
mulai memerah terang, bahkan ada daun yang memuat kombinasi ketiga warna itu.
Indah sekali. Ranah 3 Warna, hal.256)
C.
Biografi
Ahmad Fuadi
Ahmad Fuadi, kelahiran Nagari Bayur, sebuah kampung kecil di
pinggir Danau Maninjau 30 Desember 1972, adalah seorang novelis, praktisi
konservasi, dan wartawan. Ibunya guru SD dan ayahnya guru madrasah. Fuadi
merantau ke Jawa, mematuhi permintaan ibunya untuk masuk sekolah agama. Ia
masuk di Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo tahun 1988 dan lulus tahun
1992. Di sana dia bertemu dengan kiai dan ustad yang diberkahi keikhlasan
mengajarkan ilmu hidup dan ilmu akhirat. Gontor pula yang membukakan hatinya
kepada rumus sederhana tapi kuat, ”man jadda wajada”, siapa yang
bersungguh sungguh akan sukses.
Juga
sebuah hukum baru: ilmu dan bahasa asing adalah anak kunci jendela-jendela
dunia. Bermodalkan doa dan manjadda wajada, dia mengadu untung di UMPTN.
Jendela baru langsung terbuka. Dia diterima di jurusan Hubungan Internasional,
Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung dan lulus 1997.
Semasa kuliah, Fuadi pernah mewakili Indonesia ketika
mengikuti program Youth Exchange Program di Quebec, Kanada (1995-1996). Di
ujung masa kuliah di Bandung, Fuadi mendapat kesempatan kuliah satu semester di
National University of Singapore dalam program SIF Fellowship (1997). Lulus
kuliah, dia mendengar majalah favoritnya Tempo kembali terbit setelah
Soeharto jatuh. Sebuah jendela baru tersibak lagi, Tempo menerimanya
sebagai wartawan (1998). Kelas jurnalistik pertamanya dijalani dalam
tugas-tugas reportasenya di bawah para wartawan kawakan Indonesia.
Selanjutnya, jendela-jendela dunia lain bagai berlomba-lomba
terbuka. Setahun kemudian, dia mendapat beasiswa Fulbright untuk program S-2 di
School of Media and Public Affairs, George Washington University (2001).
Merantau ke Washington DC bersama Yayi, istrinya—yang juga wartawan
Tempo—adalah mimpi masa kecilnya yang menjadi kenyataan. Sambil kuliah, mereka
menjadi koresponden TEMPO dan wartawan VOA. Berita bersejarah seperti
peristiwa 11 September dilaporkan mereka berdua langsung dari Pentagon, White
House dan Capitol Hill.
Tahun 2004, jendela dunia lain terbuka lagi ketika dia
mendapatkan beasiswa Chevening untuk belajar di Royal Holloway, University of
London untuk bidang film dokumenter. Kini, penyuka fotografi ini menjadi
Direktur Komunikasi di sebuah NGO konservasi: The Nature Conservancy
(2007-sekarang).Fuadi menguasai bahasa Inggris, Perancis, dan Arab serta pernah
menerima penghargaan (award) antara lain: Indonesian Cultural Foundation
Inc. Award (2000-2001), Columbus School of Arts and Sciences Award, The Goerge
Washington University (2000-2001), dan The Ford Foundation Award (1999-2000).
“Negeri 5 Menara” adalah buku pertamanya dari rencana
trilogi. Buku-buku ini berniat merayakan sebuah pengalaman menikmati atmosfir
pendidikan yang sangat inspiratif. Diharapkan buku ini bisa membukakan mata,
hati serta menebarkan inspirasi ke segala arah. Buku ini dalam waktu 9 bulan
sudah terjual 100.000 eksemplar. Ini adalah rekor baru untuk semua buku lokal
yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama sepanjang 36 tahun ini. Sebagian
royalti buku ini diniatkan untuk merintis Komunitas Menara, sebuah organisasi
sosial berbasis relawan (volunteer) yang menyediakan sekolah,
perpustakaan, rumah sakit, dan dapur umum secara gratis buat kalangan yang
tidak mampu.
Post a Comment
Semua umpan balik saya hargai dan saya akan membalas pertanyaan yang menyangkut artikel di Blog ini sesegera mungkin.
1. Komentar SPAM akan dihapus segera setelah saya review
2. Jika ada Link Download rusak silahkan komentar dibawah ini
3. Jika Anda memiliki masalah silahkan bertanya di papan komentar
4. Silahkan menyertakan link artikel ini yang mau share ke blog Anda .