Democracy and education
Bab 4. Pendidikan sebagai pertumbuhan
(Dewey, 2004: 41-53)
1. Syarat-syarat pertumbuhan
Dengan mengarahkan aktivitas generasi yang lebih muda,
masyarakat menentukan masa depannya sendiri, karena generasi yang lebih muda
itu suatu ketika nanti akan menggantikan peran generasi sebelumnya. Gerakan yang bersifat kumulatif menuju hasil
berikutnya inilah yang disebut Dewey sebagai pertumbuhan. „This cumulative movement of
action toward a later result is what is meant by growth” (Dewey, 2004: 41).[1]
Bagi Dewey syarat utama pertumbuhan
adalah kebelumdewasaan (immaturity). Kebelumdewasaan berarti kemungkinan untuk tumbuh, kemampuan untuk
berkembang atau kekuatan untuk tumbuh. Pengertian ini memandang
kebelumdewasaan secara positif. Banyak orang menafsirkan kebelumdewasaan
sebagai sesuatu yang kurang, dan pertumbuhan berarti perkembangan dari
kebelumdewasaan ke kedewasaan. Penafsiran seperti ini terjadi karena orang
menilai anak secara komparatif, yaitu dengan membandingkannya dengan orang
dewasa sebagai tolok ukur penilaian. Kalau anak belum memiliki apa yang
dimiliki oleh orang dewasa, anak masih dianggap dalam kondisi serba kekurangan
sampai nanti usianya matang. Kondisi dewasa sebagaimana dipahami seperti ini
dijadikan tujuan yang bersifat statis sehingga kalau sudah dewasa berarti
pertumbuhannya sudah selesai.
Dengan konsepsi yang positif dan
konstruktif mengenai kebelumdewasaan sebagai kemampuan untuk tumbuh, Dewey
menegaskan bahwa pertumbuhan itu bukanlah
sesuatu yang dilakukan untuk anak, tetapi merupakan sesuatu yang dilakukan oleh
anak sendiri. Di mana anak hidup, di situ sudah ada aktivitas yang membuat
anak tumbuh. Dewey menyebut adanya 2 sifat dasar dari kebelumdewasaan, yaitu
ketergantungan dan plastisitas.
a.
Ketergantungan
Anak yang
lahir ada dalam posisi tergantung pada orang lain dalam segalanya. Jika ia
harus melakukan sesuatu sendirian sejak lahir (ini yang membedakan dengan anak
binatang sesudah lahir), ia tidak akan bertahan hidup dalam hitungan jam.
Meskipun demikian Dewey melihat adanya kemampuan yang menggantikan kondisi anak
yang masih sangat lemah, yaitu kemampuan sosial (yang tidak dimiliki oleh
sementara anak binatang). Sejak lahir
anak sudah memiliki kemampuan untuk menjalin relasi sosial untuk menarik
perhatian orang lain agar melakukan apa yang diinginkan anak. Dari sudut
relasi sosial ketergantungan ini mencakup juga kemampuan untuk menjalin
kesalingtergantungan. Bahayanya adalah bahwa semakin anak besar dan mandiri,
semakin ia dapat mencukupi kebutuhannya sendiri, dan semakin pula ia mengambil
jarak dan acuh tak acuh pada orang lain.
b. Plastisitas
Plastisitas
merupakan kemampuan anak yang belum dewasa untuk menyesuaikan diri agar dapat
tumbuh. Bagi Dewey plastisitas berbeda dengan elastisitas yang terdapat pada
malam yang bisa diubah-ubah bentuknya. Bagi Dewey plastisitas merupakan kemampuan untuk belajar dari pengalaman („the
ability to learn from experience“) atau kemampuan
untuk mengambil pelajaran dari suatu pengalaman yang mungkin akan berguna untuk
menghadapi kesulitan-kesulitan dalam pengalaman selanjutnya. Itu berarti
kemampuan untuk mengubah tindakan atas dasar hasil dari pengalaman sebelumnya
dan ini berarti kemampuan untuk mengembangkan kecenderungan tertentu. Tanpa
plastisitas ini anak tidak mungkin mengembangkan kebiasaan.
Untuk dapat
menggunakan mata, telinga, tangan dan kaki anak harus mencoba berbagai
kombinasi gerakan sampai menguasai gerakan-gerakan itu. Kemungkinan untuk
tumbuh secara terus-menerus terbuka bagi anak, karena ketika ia mempelajari
suatu tindakan ia mengembangkan metode-metode yang sesuai yang dapat digunakan
juga untuk situasi-situasi yang berbeda. Lebih-lebih
ia mengembangkan kebiasaan untuk belajar (“a habit of learning”). Ia belajar
untuk mempelajari sesuatu („He learns to learn“ Dewey, 2004: 45).
2. Kebiasaan
sebagai ekspresi pertumbuhan
Di atas disebutkan bahwa plastisitas
merupakan kemampuan untuk mengambil pelajaran dari pengalaman sebelumnya agar
dapat menghadapi pengalaman selanjutnya di kemudian hari. Plastisitas
merupakan kemampuan untuk mengembangkan kebiasaan atau mengembangkan kecenderungan
yang definitif. Bagi Dewey kebiasaan merupakan kemampuan untuk bertindak secara
efisien. Kebiasaan merupakan kemampuan
untuk menggunakan keadaan sekitar sebagai sarana untuk mencapai tujuan,
sehingga merupakan kemampuan aktif untuk mengontrol lingkungan dengan
mengontrol organ-organ untuk bertindak. Pendidikan sering disebut sebagai
upaya untuk mendapatkan kebiasaan-kebiasaan yang mempengaruhi penyesuaian
individu pada lingkungannya. Dewey memberi catatan bahwa penyesuaian di sini
mesti dipahami secara aktif dalam arti pengontrolan sarana-sarana untuk
mencapai tujuan. Kebiasaan sebagai pembiasaan
memiliki arti yang relatif pasif karena individu menyesuaikan diri dengan
lingkungannya tanpa mampu mengubahnya. Di samping arti yang relatif pasif itu
ada 2 unsur aktif dari kebiasaan yang dikemukakan Dewey.
a. Kebiasaan
sebagai pembiasaan dalam arti upaya untuk mencapai keseimbangan dengan
lingkungan. Kita menjadi terbiasa akan sesuatu karena pertama-tama kita biasa
menggunakannya. Misalnya
kita sudah terbiasa hidup dalam suatu kota yang asing. Lama-lama ada
keseimbangan penyesuaian diri dengan suasana kota itu.
b. Kebiasaan sebagai kemampuan aktif
untuk menyesuaikan kembali tindakan-tindakan sesuai dengan tuntutan-tuntutan
baru. Penyesuaian diri terus-menerus itu membuat kita cukup mengubah unsur
sana-sini yang perlu saja dan yang lain-lainnya sudah diandaikan begitu saja.
Penyesuaian
berarti membuat lingkungan sesuai dengan aktivitas kita. Orang yang berasal dari suku
primitif yang masuk ke daerah padang pasir akan mencoba menyesuaikan diri
dengan cara menerima lingkungannya. Ia akan sangat pasif dalam upayanya untuk
mengontrol dan mengubah lingkungannya. Orang yang berasal dari lingkungan yang
berperadaban tinggi memang akan mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan
padang pasir, tetapi ia akan mencoba membuat sistem irigasi, mencari berbagai
tanaman dan binatang yang hidup di sana, dst. Menurut Dewey orang yang terakhir
ini memiliki kebiasaan untuk mengubah lingkungannya supaya lingkungannya sesuai
dengan kebutuhannya.
Makna kebiasaan tidak hanya terbatas
pada aspek motoris, tetapi juga mencakup pembentukan kecenderungan intelektual
dan emosional di samping membuat individu dapat bertindak lebih efisien. Setiap
kebiasaan menunjukkan adanya kecenderungan yang merupakan preferensi aktif
untuk memilih sesuatu dan bukan yang lainnya. Elemen
intelektual dalam kebiasaan menjadikan kebiasaan sebagai dasar untuk tumbuh
secara kontinyu. Meskipun demikian kebiasaan juga bisa merosot menjadi rutinitas. “Routine habits are unthinking
habits” (Dewey, 2004: 49). Kebiasaan-kebiasaan yang rutin dan
kebiasaan-kebiasaan yang justru menguasai kita (misalnya dalam kasus
ketergantungan akan minuman keras) adalah kebiasaan-kebiasaan yang tidak lagi
memberi tempat pada plastisitas, sehingga tidak ada lagi kemungkinan munculnya
variasi. Hanya lingkungan yang dapat menantang penggunaan inteligensi secara
penuh dalam proses pembentukan kebiasaan dapat melawan arus degradasi ini.
Metode pendidikan yang hanya bersifat rutin, mekanis dan mengulang-ulang agar
terbentuk efisiensi kebiasaan eksternal serta menekankan kemampuan motoris
tanpa berpikir merupakan upaya sadar untuk menghambat proses pertumbuhan.
3. Konsepsi pertumbuhan dalam pendidikan
Kalau dikatakan bahwa pendidikan adalah pertumbuhan,
sangatlah penting mengerti bagaimana konsepsi pertumbuhan itu dipahami. Bagi
Dewey hidup itu pertumbuhan. Di mana
ada hidup di situ ada pertumbuhan dan di mana ada pertumbuhan di situ juga ada
hidup. Dari sini Dewey menarik 2 konsekuensi untuk pendidikan, yaitu, pertama,
karena proses pendidikan tidak boleh memiliki tujuan di luar pendidikan itu
sendiri, Dewey merumuskan bahwa pertumbuhan adalah tujuan dari pendidikan
dan, kedua, proses pendidikan merupakan suatu proses reorganisasi, rekonstruksi
dan transformasi yang kontinyu.
a.
Ada 3 konsepsi yang sebelumnya dikritik oleh Dewey, yaitu
konsepsi tentang kebelumdewasaan sebagai sesuatu yang negatif karena masih
serba kurang dibanding dengan orang dewasa, konsepsi tentang penyesuaian yang
melulu pasif pada lingkungan dan konsepsi tentang kebiasaan yang sudah mandeg
dan tanpa dipikirkan lagi. Ketiga konsepsi itu didasarkan pada pengertian yang
keliru mengenai perkembangan sebagai suatu gerakan ke arah tujuan yang sudah
pasti. Di sini pertumbuhan dipandang memiliki
suatu tujuan, dan bukan menjadi
tujuan itu sendiri. Dewey menyebut 3 akibat bagi pendidikan dari konsepsi yang
keliru tentang pertumbuhan ini.
-
Konsepsi ini tidak memperhitungkan potensi-potensi alami
yang dimiliki anak.
-
Konsepsi ini tidak mendorong tumbuhnya inisiatif untuk
menghadapi situasi-situasi yang baru.
-
Konsepsi ini membuat orang secara berlebihan menekankan
penggunaan drill dan cara-cara lain untuk memastikan kemampuan otomatis.
Semua itu muncul karena kondisi orang dewasa diterima
sebagai standar untuk mengukur anak-anak dan anak-anak harus dikembangkan ke
arah standar ini. Dengan demikian anak dibawa ke standard yang sifatnya eksternal sehingga akan tumbuh sikap konformitas dalam diri anak. Kekhasan masing-masing individu
mudah dihapuskan atau bahkan dipandang sebagai sumber anarki. Konformitas mudah
disejajarkan dengan keseragaman (uniformitas).
Akibatnya anak tidak tertarik pada sesuatu yang baru, anak tidak berkembang dan
takut pada sesuatu yang tidak pasti dan tidak dikenal. Karena tujuannya itu di
luar proses pertumbuhan, dibutuhkan orang lain yang menghantar anak mencapai
standar orang dewasa itu dengan segala bentuk tekanan dari luar.
b. Tumbuh menunjuk proses dinamis
yang melebihi fase sebelumnya dan itu berarti makin tumbuh dan makin berkembang.
Demikian juga dalam pendidikan proses pertumbuhan tidak berhenti sesudah orang
meninggalkan bangku sekolah. Pendidikan semestinya mendorong orang untuk terus
berproses dalam pendidikan yang berkelanjutan sampai akhir hayat yang menjamin
terjadinya pertumbuhan seluruh potensi secara terus-menerus. Pendidikan formal
di sekolah bisa dikatakan berhasil kalau membuat orang memiliki kecenderungan
untuk belajar dari hidup itu sendiri dan menciptakan lingkungan yang
memungkinkan orang untuk belajar terus-menerus sepanjang hidup.
Karena
hidup berarti pertumbuhan, orang bertumbuh secara penuh dari fase yang satu ke
fase yang lain. Setiap fase memiliki nilai pada dirinya sendiri dengan
kepenuhannya sendiri.[2] Pendidikan berarti upaya untuk
menyediakan semua kemungkinan yang perlu untuk menjamin terjadinya pertumbuhan tanpa memandang usia. Semua ekspresi
anak semestinya tidak dipandang dari kulit luarnya hanya sebagai ekspresi
kekanak-kanakan, tetapi semestinya dipandang sebagai tanda-tanda pertumbuhan
yang belum tertata dan potensial diubah menjadi sarana efektif untuk tumbuh. Kalau pendidikan berarti pertumbuhan,
pendidikan semestinya secara progresif mendorong terealisasinya potensi-potensi
anak sehingga semakin mampu untuk menghadapi fase-fase berikutnya. “It is a
continuous leading into the future” (Dewey, 2004: 56)
[1] Konsepsi Dewey
mengenai pertumbuhan (growth) ini
sangat sentral dalam seluruh pemikirannya. Pemikirannya sangat dipengaruhi oleh
teori evolusi Darwin yang menunjukkan bahwa salah satu ciri fundamental setiap
makhluk hidup adalah pertumbuhan. Pertumbuhan bukan hanya terjadi secara
individual tetapi juga dalam species yang sama terutama pada manusia. Pada
manusia pertumbuhan yang terjadi dalam peradaban bisa dikatakan tidak ada
batasnya. Dewey nantinya mengatakan bahwa pertumbuhan merupakan satu-satunya
tujuan tertinggi kehidupan, berarti juga menjadi tujuan satu-satunya bagi
pendidikan, moralitas dan seluruh aspek hidup yang lain. Konsepsi pertumbuhan
ini dilawankan Dewey dengan konsepsi perkembangan (development) yang sering digunakan oleh teori-teori psikologi
perkembangan. Dewey menolak penggunaan ide perkembangan karena biasanya para
pendukung konsep perkembangan itu membagi perkembangan manusia dalam
tahap-tahap mulai dari bayi sampai dewasa atau sampai usia tertentu (17 tahun),
seakan-akan sesudah usia tersebut manusia tidak lagi berkembang, karena sudah
menjadi dewasa dan sudah mencapai kepenuhannya, sehingga proses perkembangannya
sudah berhenti. Di samping itu apa yang dipahami sebagai tahap akhir atau tahap
dewasa ini, hanyalah tahap terminal sejauh dipahami oleh masyarakat sekarang
ini yang mungkin 100 tahun lagi tidak relevan karena perkembangan terus-menerus
yang terjadi dalam masyarakat.
[2] Karena itu,
Dewey menolak penilaian terhadap anak yang belum dewasa menurut standar orang
dewasa. Standar itu didasarkan pada anggapan bahwa fase orang dewasa saat ini
sebagai titik akhir perkembangan sehingga digunakan sebagai standar
perbandingan. Akibatnya, pemikiran ini melihat fase anak sebagai fase yang
serba kurang dibanding orang dewasa. Model pemikiran ini menurut Dewey
bertanggung jawab atas praksis pendidikan yang berlangsung dengan menuangkan
pengetahuan dan moralitas sebanyak mungkin pada anak seperti menuangkan sesuatu
pada lubang kosong saja. Dewey, 2004: 51.
Post a Comment
Semua umpan balik saya hargai dan saya akan membalas pertanyaan yang menyangkut artikel di Blog ini sesegera mungkin.
1. Komentar SPAM akan dihapus segera setelah saya review
2. Jika ada Link Download rusak silahkan komentar dibawah ini
3. Jika Anda memiliki masalah silahkan bertanya di papan komentar
4. Silahkan menyertakan link artikel ini yang mau share ke blog Anda .