Sunday, July 6, 2014

PENDIDIKAN SEBAGAI PERTUMBUHAN

Democracy and education
Bab 4. Pendidikan sebagai pertumbuhan
(Dewey, 2004: 41-53)

1. Syarat-syarat pertumbuhan
            Dengan mengarahkan aktivitas generasi yang lebih muda, masyarakat menentukan masa depannya sendiri, karena generasi yang lebih muda itu suatu ketika nanti akan menggantikan peran generasi sebelumnya. Gerakan yang bersifat kumulatif menuju hasil berikutnya inilah yang disebut Dewey sebagai pertumbuhan. „This cumulative movement of action toward a later result is what is meant by growth” (Dewey, 2004: 41).[1]
            Bagi Dewey syarat utama pertumbuhan adalah kebelumdewasaan (immaturity). Kebelumdewasaan berarti kemungkinan untuk tumbuh, kemampuan untuk berkembang atau kekuatan untuk tumbuh. Pengertian ini memandang kebelumdewasaan secara positif. Banyak orang menafsirkan kebelumdewasaan sebagai sesuatu yang kurang, dan pertumbuhan berarti perkembangan dari kebelumdewasaan ke kedewasaan. Penafsiran seperti ini terjadi karena orang menilai anak secara komparatif, yaitu dengan membandingkannya dengan orang dewasa sebagai tolok ukur penilaian. Kalau anak belum memiliki apa yang dimiliki oleh orang dewasa, anak masih dianggap dalam kondisi serba kekurangan sampai nanti usianya matang. Kondisi dewasa sebagaimana dipahami seperti ini dijadikan tujuan yang bersifat statis sehingga kalau sudah dewasa berarti pertumbuhannya sudah selesai.
            Dengan konsepsi yang positif dan konstruktif mengenai kebelumdewasaan sebagai kemampuan untuk tumbuh, Dewey menegaskan bahwa pertumbuhan itu bukanlah sesuatu yang dilakukan untuk anak, tetapi merupakan sesuatu yang dilakukan oleh anak sendiri. Di mana anak hidup, di situ sudah ada aktivitas yang membuat anak tumbuh. Dewey menyebut adanya 2 sifat dasar dari kebelumdewasaan, yaitu ketergantungan dan plastisitas.
a.      Ketergantungan
Anak yang lahir ada dalam posisi tergantung pada orang lain dalam segalanya. Jika ia harus melakukan sesuatu sendirian sejak lahir (ini yang membedakan dengan anak binatang sesudah lahir), ia tidak akan bertahan hidup dalam hitungan jam. Meskipun demikian Dewey melihat adanya kemampuan yang menggantikan kondisi anak yang masih sangat lemah, yaitu kemampuan sosial (yang tidak dimiliki oleh sementara anak binatang). Sejak lahir anak sudah memiliki kemampuan untuk menjalin relasi sosial untuk menarik perhatian orang lain agar melakukan apa yang diinginkan anak. Dari sudut relasi sosial ketergantungan ini mencakup juga kemampuan untuk menjalin kesalingtergantungan. Bahayanya adalah bahwa semakin anak besar dan mandiri, semakin ia dapat mencukupi kebutuhannya sendiri, dan semakin pula ia mengambil jarak dan acuh tak acuh pada orang lain.
b.      Plastisitas
Plastisitas merupakan kemampuan anak yang belum dewasa untuk menyesuaikan diri agar dapat tumbuh. Bagi Dewey plastisitas berbeda dengan elastisitas yang terdapat pada malam yang bisa diubah-ubah bentuknya. Bagi Dewey plastisitas merupakan kemampuan untuk belajar dari pengalaman („the ability to learn from experience“) atau kemampuan untuk mengambil pelajaran dari suatu pengalaman yang mungkin akan berguna untuk menghadapi kesulitan-kesulitan dalam pengalaman selanjutnya. Itu berarti kemampuan untuk mengubah tindakan atas dasar hasil dari pengalaman sebelumnya dan ini berarti kemampuan untuk mengembangkan kecenderungan tertentu. Tanpa plastisitas ini anak tidak mungkin mengembangkan kebiasaan.
Untuk dapat menggunakan mata, telinga, tangan dan kaki anak harus mencoba berbagai kombinasi gerakan sampai menguasai gerakan-gerakan itu. Kemungkinan untuk tumbuh secara terus-menerus terbuka bagi anak, karena ketika ia mempelajari suatu tindakan ia mengembangkan metode-metode yang sesuai yang dapat digunakan juga untuk situasi-situasi yang berbeda. Lebih-lebih ia mengembangkan kebiasaan untuk belajar (“a habit of learning”). Ia belajar untuk mempelajari sesuatu („He learns to learn“ Dewey, 2004: 45).

2. Kebiasaan sebagai ekspresi pertumbuhan
            Di atas disebutkan bahwa plastisitas merupakan kemampuan untuk mengambil pelajaran dari pengalaman sebelumnya agar dapat menghadapi pengalaman selanjutnya di kemudian hari. Plastisitas merupakan kemampuan untuk mengembangkan kebiasaan atau mengembangkan kecenderungan yang definitif. Bagi Dewey kebiasaan merupakan kemampuan untuk bertindak secara efisien. Kebiasaan merupakan kemampuan untuk menggunakan keadaan sekitar sebagai sarana untuk mencapai tujuan, sehingga merupakan kemampuan aktif untuk mengontrol lingkungan dengan mengontrol organ-organ untuk bertindak. Pendidikan sering disebut sebagai upaya untuk mendapatkan kebiasaan-kebiasaan yang mempengaruhi penyesuaian individu pada lingkungannya. Dewey memberi catatan bahwa penyesuaian di sini mesti dipahami secara aktif dalam arti pengontrolan sarana-sarana untuk mencapai tujuan. Kebiasaan sebagai pembiasaan memiliki arti yang relatif pasif karena individu menyesuaikan diri dengan lingkungannya tanpa mampu mengubahnya. Di samping arti yang relatif pasif itu ada 2 unsur aktif dari kebiasaan yang dikemukakan Dewey.
a.       Kebiasaan sebagai pembiasaan dalam arti upaya untuk mencapai keseimbangan dengan lingkungan. Kita menjadi terbiasa akan sesuatu karena pertama-tama kita biasa menggunakannya. Misalnya kita sudah terbiasa hidup dalam suatu kota yang asing. Lama-lama ada keseimbangan penyesuaian diri dengan suasana kota itu.
b.      Kebiasaan sebagai kemampuan aktif untuk menyesuaikan kembali tindakan-tindakan sesuai dengan tuntutan-tuntutan baru. Penyesuaian diri terus-menerus itu membuat kita cukup mengubah unsur sana-sini yang perlu saja dan yang lain-lainnya sudah diandaikan begitu saja.

Penyesuaian berarti membuat lingkungan sesuai dengan aktivitas kita. Orang yang berasal dari suku primitif yang masuk ke daerah padang pasir akan mencoba menyesuaikan diri dengan cara menerima lingkungannya. Ia akan sangat pasif dalam upayanya untuk mengontrol dan mengubah lingkungannya. Orang yang berasal dari lingkungan yang berperadaban tinggi memang akan mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan padang pasir, tetapi ia akan mencoba membuat sistem irigasi, mencari berbagai tanaman dan binatang yang hidup di sana, dst. Menurut Dewey orang yang terakhir ini memiliki kebiasaan untuk mengubah lingkungannya supaya lingkungannya sesuai dengan kebutuhannya.
            Makna kebiasaan tidak hanya terbatas pada aspek motoris, tetapi juga mencakup pembentukan kecenderungan intelektual dan emosional di samping membuat individu dapat bertindak lebih efisien. Setiap kebiasaan menunjukkan adanya kecenderungan yang merupakan preferensi aktif untuk memilih sesuatu dan bukan yang lainnya. Elemen intelektual dalam kebiasaan menjadikan kebiasaan sebagai dasar untuk tumbuh secara kontinyu. Meskipun demikian kebiasaan juga bisa merosot menjadi rutinitas. “Routine habits are unthinking habits” (Dewey, 2004: 49). Kebiasaan-kebiasaan yang rutin dan kebiasaan-kebiasaan yang justru menguasai kita (misalnya dalam kasus ketergantungan akan minuman keras) adalah kebiasaan-kebiasaan yang tidak lagi memberi tempat pada plastisitas, sehingga tidak ada lagi kemungkinan munculnya variasi. Hanya lingkungan yang dapat menantang penggunaan inteligensi secara penuh dalam proses pembentukan kebiasaan dapat melawan arus degradasi ini. Metode pendidikan yang hanya bersifat rutin, mekanis dan mengulang-ulang agar terbentuk efisiensi kebiasaan eksternal serta menekankan kemampuan motoris tanpa berpikir merupakan upaya sadar untuk menghambat proses pertumbuhan.

3. Konsepsi pertumbuhan dalam pendidikan
            Kalau dikatakan bahwa pendidikan adalah pertumbuhan, sangatlah penting mengerti bagaimana konsepsi pertumbuhan itu dipahami. Bagi Dewey hidup itu pertumbuhan. Di mana ada hidup di situ ada pertumbuhan dan di mana ada pertumbuhan di situ juga ada hidup. Dari sini Dewey menarik 2 konsekuensi untuk pendidikan, yaitu, pertama, karena proses pendidikan tidak boleh memiliki tujuan di luar pendidikan itu sendiri, Dewey merumuskan bahwa pertumbuhan adalah tujuan dari pendidikan dan, kedua, proses pendidikan merupakan suatu proses reorganisasi, rekonstruksi dan transformasi yang kontinyu.
a.       Ada 3 konsepsi yang sebelumnya dikritik oleh Dewey, yaitu konsepsi tentang kebelumdewasaan sebagai sesuatu yang negatif karena masih serba kurang dibanding dengan orang dewasa, konsepsi tentang penyesuaian yang melulu pasif pada lingkungan dan konsepsi tentang kebiasaan yang sudah mandeg dan tanpa dipikirkan lagi. Ketiga konsepsi itu didasarkan pada pengertian yang keliru mengenai perkembangan sebagai suatu gerakan ke arah tujuan yang sudah pasti. Di sini pertumbuhan dipandang memiliki suatu tujuan, dan bukan menjadi tujuan itu sendiri. Dewey menyebut 3 akibat bagi pendidikan dari konsepsi yang keliru tentang pertumbuhan ini.
-          Konsepsi ini tidak memperhitungkan potensi-potensi alami yang dimiliki anak.
-          Konsepsi ini tidak mendorong tumbuhnya inisiatif untuk menghadapi situasi-situasi yang baru.
-          Konsepsi ini membuat orang secara berlebihan menekankan penggunaan drill dan cara-cara lain untuk memastikan kemampuan otomatis.
Semua itu muncul karena kondisi orang dewasa diterima sebagai standar untuk mengukur anak-anak dan anak-anak harus dikembangkan ke arah standar ini. Dengan demikian anak dibawa ke standard yang sifatnya eksternal sehingga akan tumbuh sikap konformitas dalam diri anak. Kekhasan masing-masing individu mudah dihapuskan atau bahkan dipandang sebagai sumber anarki. Konformitas mudah disejajarkan dengan keseragaman (uniformitas). Akibatnya anak tidak tertarik pada sesuatu yang baru, anak tidak berkembang dan takut pada sesuatu yang tidak pasti dan tidak dikenal. Karena tujuannya itu di luar proses pertumbuhan, dibutuhkan orang lain yang menghantar anak mencapai standar orang dewasa itu dengan segala bentuk tekanan dari luar.
b.      Tumbuh menunjuk proses dinamis yang melebihi fase sebelumnya dan itu berarti makin tumbuh dan makin berkembang. Demikian juga dalam pendidikan proses pertumbuhan tidak berhenti sesudah orang meninggalkan bangku sekolah. Pendidikan semestinya mendorong orang untuk terus berproses dalam pendidikan yang berkelanjutan sampai akhir hayat yang menjamin terjadinya pertumbuhan seluruh potensi secara terus-menerus. Pendidikan formal di sekolah bisa dikatakan berhasil kalau membuat orang memiliki kecenderungan untuk belajar dari hidup itu sendiri dan menciptakan lingkungan yang memungkinkan orang untuk belajar terus-menerus sepanjang hidup.
Karena hidup berarti pertumbuhan, orang bertumbuh secara penuh dari fase yang satu ke fase yang lain. Setiap fase memiliki nilai pada dirinya sendiri dengan kepenuhannya sendiri.[2] Pendidikan berarti upaya untuk menyediakan semua kemungkinan yang perlu untuk menjamin terjadinya pertumbuhan tanpa memandang usia. Semua ekspresi anak semestinya tidak dipandang dari kulit luarnya hanya sebagai ekspresi kekanak-kanakan, tetapi semestinya dipandang sebagai tanda-tanda pertumbuhan yang belum tertata dan potensial diubah menjadi sarana efektif untuk tumbuh. Kalau pendidikan berarti pertumbuhan, pendidikan semestinya secara progresif mendorong terealisasinya potensi-potensi anak sehingga semakin mampu untuk menghadapi fase-fase berikutnya. “It is a continuous leading into the future” (Dewey, 2004: 56)





[1] Konsepsi Dewey mengenai pertumbuhan (growth) ini sangat sentral dalam seluruh pemikirannya. Pemikirannya sangat dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin yang menunjukkan bahwa salah satu ciri fundamental setiap makhluk hidup adalah pertumbuhan. Pertumbuhan bukan hanya terjadi secara individual tetapi juga dalam species yang sama terutama pada manusia. Pada manusia pertumbuhan yang terjadi dalam peradaban bisa dikatakan tidak ada batasnya. Dewey nantinya mengatakan bahwa pertumbuhan merupakan satu-satunya tujuan tertinggi kehidupan, berarti juga menjadi tujuan satu-satunya bagi pendidikan, moralitas dan seluruh aspek hidup yang lain. Konsepsi pertumbuhan ini dilawankan Dewey dengan konsepsi perkembangan (development) yang sering digunakan oleh teori-teori psikologi perkembangan. Dewey menolak penggunaan ide perkembangan karena biasanya para pendukung konsep perkembangan itu membagi perkembangan manusia dalam tahap-tahap mulai dari bayi sampai dewasa atau sampai usia tertentu (17 tahun), seakan-akan sesudah usia tersebut manusia tidak lagi berkembang, karena sudah menjadi dewasa dan sudah mencapai kepenuhannya, sehingga proses perkembangannya sudah berhenti. Di samping itu apa yang dipahami sebagai tahap akhir atau tahap dewasa ini, hanyalah tahap terminal sejauh dipahami oleh masyarakat sekarang ini yang mungkin 100 tahun lagi tidak relevan karena perkembangan terus-menerus yang terjadi dalam masyarakat.
[2] Karena itu, Dewey menolak penilaian terhadap anak yang belum dewasa menurut standar orang dewasa. Standar itu didasarkan pada anggapan bahwa fase orang dewasa saat ini sebagai titik akhir perkembangan sehingga digunakan sebagai standar perbandingan. Akibatnya, pemikiran ini melihat fase anak sebagai fase yang serba kurang dibanding orang dewasa. Model pemikiran ini menurut Dewey bertanggung jawab atas praksis pendidikan yang berlangsung dengan menuangkan pengetahuan dan moralitas sebanyak mungkin pada anak seperti menuangkan sesuatu pada lubang kosong saja. Dewey, 2004: 51.

Me

Post a Comment

Semua umpan balik saya hargai dan saya akan membalas pertanyaan yang menyangkut artikel di Blog ini sesegera mungkin.

1. Komentar SPAM akan dihapus segera setelah saya review
2. Jika ada Link Download rusak silahkan komentar dibawah ini
3. Jika Anda memiliki masalah silahkan bertanya di papan komentar
4. Silahkan menyertakan link artikel ini yang mau share ke blog Anda .

Credits