Tuesday, November 6, 2012

SALYA GUGUR


Bayangan jingga belum lagi terbias diantara mega mega di langit timur, ketika Aswatama telah berada jauh jaraknya dalam pencarian jejak Banuwati. Kelamnya hutan dan  kabut menjelang pagi amat mempersulitnya dalam melacak lari kuda yang ditumpangi Banuwati. Jejak kaki kuda dan patahan ranting yang masih baru kadang masih dapat terlihat sebagai tanda lacaknya, namun sejatinya kuda itu telah lama kehilangan penumpangnya yang terperosok jatuh di tempat yang sudah jauh tertinggal.

“Keparat Banuwati, kau telah membuat dendamku makin dalam! Ya, tidak ada yang dapat aku katakan, belum akan mati dengan dada lapang Aswatama, jika aku belum berhasil membunuh perempuan celaka yang berlindung dibalik kecantikan parasnya!” Perasaan sesal dan dendam melonjak lonjak dalam dada Aswatama. Segenap sisi hutan telah ia selusuri meneliti dengan seksama tanda tanda dimana adanya Dewi Banowati, namun Sang Dewi seolah ditabiri oleh kekuatan gaib yang tak kasat mata.

Sementara itu di Mandaraka, abdi istana telah menghadirkan kedua orang tamu yang sedari lepas tengah malam menunggu, kapan kiranya akan ditemui oleh tuan rumah. Prabu Salya yang masih belum beranjak dari tempat sesuci telah mengira, siapa sebenarnya yang hendak menghadap. Firasatnya mengatakan, bukan orang lain yang hendak bertemu dengannya. Maka ia masih tetap dalam busana putih yang ia kenakan ketika ia memuja Hyang Maha Agung, dan juga belum hendak beranjak dari sanggar pemujan.

Prabu Salya menarik nafas panjang ketika ia melihat dihadapannya berjalan dua sosok yang sangat ia kenal dengan baik. Dialah kemenakannya, Nakula dan Sadewa. Kemenakannya yang lahir dari gua garba adik perempuannya Madrim. Adik perempuan satu satunya yang sangat ia kasihi. Seketika tangannya dilambaikan kearah kedua satria yang baru saja dipanggilnya menghadap. Sambil tetap duduk ditempat semula, tangannya mengusap usap kepala kemenakannya dengan sepenuh kasih ketika Nakula dan Sadewa bersimpuh dan menghaturkan sembah bakti kepadanya.

“Pinten, Tangsen,  duduklah dekat kemari” Masih disertai senyum, Sang Uwak, ketika melepaskan elusan tangannya. Prabu Salya terbiasa memanggil kemenakannya dengan panggilan kecil, Pinten dan Tangsen, kepada Nakula dan Sadewa. Ia masih saja menganggap kemenakannya masih saja selayaknya kanak kanak, walau mereka sebetulnya sudah lepas dewasa. Panggilan itu seakan ia ucapkan sebagaimana ia dengan segenap kasih ingin menumpahkannya kepada anak yang terlahir piatu itu. Dan masih tercetak kuat dalam benaknya, betapa sejak kecil keduanya telah ditinggalkan oleh sepasang orang tuanya, sehingga tak terkira betapa kasihSang Uwak tertumpah kepada kedua kemenakannya itu.

Nakula dan Sadewa beringsut sejengkal memenuhi keinginan uwaknya. Tanya seputar keselamatan masing masing telah mereka ucapkan dengan singkat, hingga kemudian Prabu Salya membuka pembicaraan ke hal selain basa basi.

“Kedatanganmu kemari, aku merasakan seperti halnya ibumu hadir dalam diri kamu berdua. Kembar, alangkah malangnya kamu berdua ditakdirkan terlahir sebagai anak piatu”. Sejenak Prabu Salya yang baru saja membuka kata, terdiam. Matanya  menerawang mengingat adiknya Madrim dengan segala tingkah polahnya.

“Didunia ini, siapakah orangnya yang tidak mengenal Prabu Pandu Dewanata, ayahmu. Tidak ada seorangpun yang bisa memberikan keterangan selengkap yang aku berikan mengenai keberadaan ayahmu, kecuali keterangan itu datang dari diriku. Dulu sewaktu ibumu hamil, ia ngidam kepengin naik Lembu Andini. Padahal ia tahu, Lembu Andini itu kendaraan Hyang Guru. Itupun ia mengendarainya hanya sendirian saja”.


Yang diajak bercerita masih diam sambil sesekali mengangguk anggukkan kepalanya. Dibiarkannya uwaknya berceritera. Walaupun cerita itu sudah berkali kali ia dengar dari mulut uwaknya, Prabu Salya.

“Pinten, Tangsen, aku akan menceritakan kembali apa yang terjadi pada kedua orang tuamu. Dengarkan ya”. Prabu Salya menyambung, “Ibumu, Madrim,  ternyata meniru tindakan Istri Batara Guru, yaitu Dewi Uma, yang juga ingin menaiki Lembu Andini berdua dengan Batara Guru, suaminya. Walau banyak suara sumbang ingin menggagalkan permintaan Uma atas keinginannya itu, tetapi cinta Batara Guru terhadap Dewi Uma mengalahkan keberatan parampara kahyangan Jonggiri Kaelasa”. 


Cerita yang diceritakan Prabu Salya melebar, namun demikian Nakula dan Sadewa masih saja mendengarkan dengan sesekali mengangguk kecil.“Waktu demi waktu berlalu, berdua melanglang jagat menaiki lembu Andini. Tak lah aneh, bila segala keinginan Batari Uma dituruti, karena cinta mereka sebagai suami istri yang baru mereka jalani. Mereka lupa bahwa berdua ada punggung Lembu Andini. Kekuatan asmara telah menggiring mereka  melakukan olah asmara diatas punggung Lembu Andini. Hingga kemudian meneteslah kama salah, jatuh kelautan dan menjelma menjadi raksasa yang dinamai Batara Kala. Dialah putra Batara Guru dengan Dewi Uma, yang membuat jagat yang semula tentram menjadi kisruh, yang suci-bening menjadi tercemar, yang tegak menjadi berantakan”.


“Tetapi ternyata perbuatan itu telah ditiru mentah mentah oleh ayahmu, Pandu. Walau Dewa telah memberi peringatan, tetapi ayahmu telah berlaku terlalu tinggi hati, mentang-mentang ayahmu telah sangat berjasa bagi Kahyangan. Ayahmu lupa bahwa ia telah diberikan anugrah ketika ia telah berhasil menyingkirkan musuh Kahyangan, Prabu Nagapaya. Ganjaran yang telah Dewa berikan berupa Minyak Tala. Bahkan ayahmu telah berjudi dengan nasibnya, dengan menyanggupi diri untuk menjadi kerak Kawah Candradimuka. Itulah ayahmu, watak tinggi hati dan rasa cinta terhadap ibumu yang tiada terkira, membuat ia lupa segalanya”. 


Walau mereka berdua telah berkali kali mendengar cerita tentang kedua orang tuanya, tetapi tidak urung Nakula dan Sadewa telah meruntuhkan air matanya. Kali ini uwaknya menceriterakan kembali peristiwa yang mengiringi riwayat kejadian atas diri mereka berdua.

“Perlukah aku ceritakan bagaimana kematian kedua orang tuamu? “Sejenak Nakula Sadewa terdiam. Mereka teringat, kedatangan mereka sebenarnya adalah dalam tugas negara. Seperti perintah yang diberikan oleh Prabu Kresna, mereka diberikan kewajiban untuk bagaimana melululuhkan hati uwaknya, agar dalam perang di terang hari nanti, uwaknya akan merelakan hidupnya untuk kejayaan Para Pandawa. Kresna telah mengetahui, bila tidak ada usaha untuk membuat Prabu Salya merelakan kematiannya, maka Para Pandawa tak akan dapat mengalahkan senapati bentukan Prabu Duryudana kali ini, yaitu Prabu Salya.

Maka Nakula dan Sadewa telah mengambil keputusan untuk mengulur perasaan Prabu Salya, agar nanti dengan gampang masuk mengutarakan maksudnya.

Mereka pun menjawab, “ Uwa Prabu, kami akan mendengarkan apa yang hendak Uwa Prabu ceriterakan”


“Baiklah.  Ketika kamu dikandung ibumu menjelang kelahiranmu, terjadi pemberontakan oleh  sebuah negara yang ada dalam bawahan Negara Astina. Negara Pringgondani yang  dipimpin oleh Prabu Trembuku hendak memisahkan diri dari kekuasaan Astina. Prabu Trembuku yang merasa sudah kuat dan mampu mengalahkan ayahmu telah dengan berani melakukan pememberontakan. Dalam perang tanding antara ayahmu dan Prabu Trembuku, ayahmu dapat mengalahkan kesaktian Prabu Trembuku yang kala itu menggunakan pusaka berujud keris yang bernama Kala Nadah. Sekali lagi kukatakan, ayahmu adalah orang yang tinggi hati. Prabu Trembuku, oleh ayahmu,  sudah dianggap tak berdaya, hingga ayahmu Pandu lengah. Ketika sesumbar atas kemenangannya, ayahmu melangkah hendak berdiri diatas tubuh Kala Trembuku, sebagai tanda atas kemenangannya. Namun Trembuku ternyata masih kuat untuk menusukkan senjata keris Kala Nadah ke telapak kaki ayahmu. Berhari hari Keris Kyai Kala Nadah mengeram dikakinya. Tak ada seorangpun yang mampu mencabut keris Kala Nadah, hingga membuat kesehatan ayahmu menurun hari demi hari. Dan akhirnya, ketika kamu berdua terlahir kedunia, yang disertai kematian ibumu karena kehabisan darah, ayahmu juga ikut wafat setelah memberi nama buat kamu berdua”. 


Sebentar prabu Salya membenahi tempat duduknya dan bergeser duduknya. Kemudian ia melanjutkan ceritanya. “Kegaiban terjadi, ketika kedua orang tuamu telah wafat, tiba tiba saja jasad keduanya telah hilang tak berbekas. Sudah menjadi suratan takdir bahwa kematian kedua orang tuamu adalah menuai apa apa yang mereka tanam. Janji ayahmu Pandu untuk sanggup menjadi kerak Neraka Yomani, telah berbuah. Ucapan orang tuamu ketika meminjam Lembu Andini, sanggup mukti waktu itu, dan sanggup sengsara kemudian telah menjadi kenyataan”. 


“Keris perenggut nyawa ayahmu diberikan oleh pamanmu,Yamawidura, kepada Arjuna kakakmu. Sejak saat kamu berdua menghirup udara dunia, kamu sudah ada dalam asuhan ibu dari Puntadewa, Werkudara dan Arjuna, ya Kunti itulah yang memberi perlindungan atasmu sebagaimana ia memperlakukan kasihnya terhadap anak kandungnya. 


Maka itu Pinten, Tangsen, perlakukan ibumu, Kunti, dengan kasih yang sepenuh hati. Perlakukan ibumu Kunti, seperti saudara saudaramu tua menyayangi ibunya”.


“Semua titah Uwa Prabu sudah hamba lakukan, sebagaimana Ibu Kunti dengan tak membeda bedakan kasihnya antara kami berdua dengan saudara saudara 
kami yang lahir dari rahim ibu Kunti”. Jawab Nakula dan Sadewa serentak dengan suara yang sedikit serak, ketika uwaknya menghentikan ceritanya sesaat.

“Baik”, sekali ini Prabu Salya kembali menghela nafas panjang dengan senyum puas, “Selain dari pada itu anak anakku, kamu berdua hendaklah tidak pernah menyerah dalam menjalani Perang Baratayuda ini. Tetaplah ada pada kedekatan jarakmu dengan kakakmu Puntadewa. Aku lihat kamu sekarang malah datang kehadapanku di Mandaraka. Apa yang hendak kau sampaikan Pinten, Tangsen”.


Kedua bersaudara kembar itu saling berpandangan. Keduanya merasa pintu telah terbuka. Kemudian bersepakat dengan sinar matanya, siapakah yang hendak menyampaikan hal penting sebagai utusan dari Prabu Kresna. “Siapakah diantara kami Para Pandawa yang tidak merasa khawatir, sebab kami telah mendengar bahwa terang tanah hari ini, Uwa Prabu sudah diangkat wisuda sebagai senapati perang Astina. Tak lain yang akan dihadapi adalah kami semua saudara Pandawa”.


Berdebaran dada Nakula yang hendak menyatakan inti dari maksud kedatangannya. Kembali dengan suara parau ia mengatakan, “Maka Uwa Prabu, dari pada memperpanjang cerita, yang tidak urung nanti Para Pandawa akan runtuh di medan Kuru, maka kami akan menyerahkan kematian kami sekarang juga, Uwa. Dan akan jelaslah bahwa kematian kami, kemenakan Paduka Uwa Prabu, adalah atas tangan Paduka Uwa Salya”.


Terkaget sejenak Prabu Salya mendengarkan uraian kedua kemenakannya, dengan suara meninggi ia mengatakan, “ Heh . . . apa yang kamu ucapkan? Sedari tadi aku menceriterakan bagaimana keperwiraan orang tuamu, Pandu, juga dengan segala kelemahannya. Bagaimana orang tuamu yang semua orang di jagat ini telah tahu, ternyata ia juga adalah bagaikan seekor harimau yang sangat ditakuti. Kesaktian dan kewibawaan  orang tuamu ibarat bisa menunduk-runtuhkan gunung Himawan. Tetapi apa yang terjadi terhadapmu, tidaklah membekas apa yang ada pada Pandu yang melekat pada dirimu. Harimau itu  ternyata hanya beranak dua ekor tikus!”


Hening melimputi suasana sanggar pamujan, dengan pikiran berputar putar pada rongga kepala ketiga manusia didalam sanggar itu. Namun sejenak kemudian dengan suara berat Salya bertanya kepada kedua kemenakannya, “Baratayuda itu sebenarnya siapa yang berperkara?”


Hampir serempak kedua satria itu menjaawb, “Itu perkara hamba Para Pandawa dan Kurawa”.


“Bila benar begitu, kenapa perkara itu justru merembet kepada para pepundenmu, para orang tua orang tua yang seharusnya kamu beri kemukten. Kamu berikan kebahagian. Malah orang tua orang tua itu telah kamu jadikan korban. Dan bila kamu adalah manusia manusia yang berakal, tentunya kamu tidak akan menghadapku dan menyatakan minta aku bunuh disini. Itu seperti halnya kamu sudah melihat hal yang sudah pasti, sehingga kamu telah mengambil kesimpulan.” Kata Prabu Salya dengan kalimat yang bertekanan.

“Kalau kamu berdua datang bukan kepada Prabu Salya, maka tentu yang kau datangi sudah menumpahkan rasa iba. Tapi bagiku, kedatangan kamu berdua hanya merupakan gambaran dari betapa kamu berdua adalah sebetul betulnya manusia yang berjiwa kerdil”. Ketus Prabu Salya menyambung.

“Werkudara kakakmu, adalah seorang manusia yang teguh bukan hanya tergambar dari kewadagannya, tetapi keteguhannya merasuk jauh hingga ke lubuk hati dan jiwanya yang paling dalam. Aku telah menjadi saksi, betapa dengan keteguhannya, dengan segala kekuatannya ia berrenang dalam banjir darah yang ia ciptakan. Arjuna yang begitu titis dalam olah panah, sehingga sudah begitu banyak para sraya Prabu Duyudana yang tumbang oleh ketepatan olah warastra. Mereka adalah sebenar benarnya anak Pandu Dewanata. Dan tak kalah dari orang tuanya, orang muda Pandawa seperti Abimanyu dan Gatutkaca, telah bersimbah darah, dengan gagah berani mereka telah merelakan jiwanya, gugur menjadi kusuma bangsa”.

Lho sedangkan kamu itu apa? Datang berdua ke Mandaraka menyerahkan jiwa! Kamu takut menjalani peperangan heh?

“Terserahlah yang Uwak katakan . . . .” Nakula menjawab dengan lesu.

“Pinten, Tangsen, bukan Prabu Salya, bila menjadi samar dengan segala ulahmu. Dari aku mendengar berita kedatanganmu, melihat sosok kamu berdua, melilhatmu mencium kaki dengan air mata yang berlinangan; aku sejatinya sudah tahu. Itu bukan gambaran sosok anak Pandu !!


Keheningan kembali menyungkup. Hanya pandangan mata tajam Prabu Salya menghujam kearah kedua kemenakannya berganti ganti. Namun sebentar kemudian Prabu Salya mengatakan dengan nada tinggi hal yang membuat kedua satria kembar itu terhenyak, “Kedatanganmu kemari adalah ada yang menyuruhmu, iya apa iya . . ?! “


Menohok rasa kalimat tanya yang dilontarkan Prabu Salya, tak ada kata lain, Sadewa kali ini yang menjawab setelah terbungkam beberapa saat,“Kami mohon  maaf yang sebesar-besarnya Uwa Prabu . . . . .”


“Tidak . . , aku tidak akan memberimu maaf. . !” Masih dengan suara tinggi Prabu Salya menjawab ketus. Ia kecewa dengan kedua kemenakannya.

“Harus bagaimana hamba berdua Uwa Prabu?” Tanya Sadewa.

“Kamu berdua harus mengaku dulu, kamu sebetulnya disuruh seseorang untuk berbuat seperti itu?” Prabu Salya masih bersikeras.

“Ini hal yang sebenar-benarnya hamba lakukan atas kemauan kami sendiri . . .” Nakula dan Sadewa masih mencoba ingkar.

“Tidak . . . . tidak mungkin!! Kenyataan yang terjadi sekarang adalah macan yang beranak tikus. Ooooh Pandu, apa yang terjadi dengan anak kembarmu. Apakah bila kamu sudah berlinangan air mata dihadapanku, maka Salya akan larut. Ketahuilah, dalam perang nanti, siapa yang menjadi musuh Duryudana, ia akan menjadi musuh Salya pula!” Prabu Salya masih mencoba mengancam

“Silakan Uwa memarahi kami berdua . . . Tetapi biar bagaimanapun, silakan uwa Prabu untuk membunuh hamba berdua, sekarang juga di Mandaraka ini”. Sadewa tetap pada pendiriannya. Bagaimanapun pembekalan dari Prabu Kresna ketika ia hendak pergi  ke Mandaraka telah ia coba lakukan dengan sepenuh kekuatan untuk memenuhinya.

“Ketahuilah Pinten, Tangsen, aku masih berharap besar kepadamu berdua sepeninggal kakakmu Burisrawa dan Rukmarata. Aku masih berharap akan ada sejumput ketenteraman yang bisa kau berikan kepada uwakmu ini, sebab kamu berdua adalah masih darah dagingku sendiri”.


“Dari tata lahirku, aku ada di pihak Kurawa. Tapi tertanam dalam dalam dihati ini, Pandawa adalah kebenaran sejati dalam perang Barata ini”. 


“Hmm . .”“Sekarang katakan kepadaku, begini, Pinten, Tangsen. Tirukan kata kataku: Uwa Prabu, bila nanti Uwa Prabu hendak maju ke medan Kuru sebagai senapati Astina, kami para Pandawa minta kepada Uwa, hendaknya Uwa Prabu menyerahkan nyawanya; Ayo katakan itu kepadaku . . . !“ Prabu Salya menggeram menahan pepatnya rasa hati. Akhirnya dengan nada datar ia mengatakan kepada kedua kemenakannya. Kalimat yang ia reka dan akan ia katakan inilah  yang seharusnya Nakula dan Sadewa katakan terus terang kepada dirinya. 
Nakula dan Sadewa kembali saling pandang. Namun tak ada kata sepakat apapun yang tersimpul dari pandangan sinar mata masing masing.

Keduanya mengalihkan pandangannya ketika Prabu Salya kembali memecah kesunyian, dengan pertanyaan disertai suara yang dalam.“Kamu berdua menginginkan unggul dalam perang Baratayuda, begitu bukan? Sekarang jawablah!”

“Tidak salah apa yang uwa Prabu tanyakan”. Jawab Sadewa.

“Sebab itu, tirukan kata kata yang aku ucapkan tadi”. Kembali Salya memerintahkan kepada kedua kemenakannya dengan setengah memaksa.

Kedua satria kembar itu kembali saling pandang. Kali ini Nakula bertanya kepada adiknya, Sadewa. “Bagaimana adikku, apa yang harus aku lakukan?”

“Tersesrahlah kanda, saya akan duduk dibelakang kanda saja.” Jawab Sadewa lesu

Kembali Nakula bersembah dengan mengatakan, “Dosa apakah yang akan menimpa kami  . . . .” Baru berapa patah kata Nakula berkata , namun dengan cepat Prabu Salya memotong ucapan yang keluar dari bibir Nakula

“Bukan!! Bukan itu yang harus kamu katakan! Tetapi katakan dan tirukan  kalimat yang telah aku ucapkan tadi”.

Sinar mata memaksa dari Prabu Salya telah menghujam ke mata Nakula ketika ia memandang uwaknya. Seakan tersihir oleh sinar mata uwaknya, maka ketika Prabu Salya menuntun kalimat demi kalimat itu, Nakula menuruti kata yang terucap dari bibir Prabu Salya bagai kerbau yang tercocok hidungnya.

“Uwa Prabu . . “


“Uwa Prabu”, tiru Nakula

“Bila nanti Uwa Prabu hendak maju ke medan Kuru sebagai senapati Astina . . . .,”


“Bila nanti Uwa Prabu hendak maju ke medan Kuru sebagai senapati Astina,”


“Kami para Pandawa minta kepada Uwa . . . .”


“Kami para Pandawa minta kepada Uwa “


“Hendaknya Uwa Prabu menyerahkan nyawa Uwa di peperangan. . . .”


Sesaat Nakula tak berkata sepatah katapun, hingga kalimat terakhir itu diulang oleh Prabu Salya. Dengan kalimat yang tersendat, akhirnya Nakula menggerakkan bibirnya, “Hendaknya Uwa Prabu menyerahkan nyawa di peprangan nanti”.


Bangkit Prabu Salya begitu kemenakannya mengucapkan kalimat terakhir itu. Dirangkulnya Nakula, dielusnya kepala kemenakannya itu dengan penuh kasih.
Setelah beberapa saat berlalu dengan keheningan, Prabu Salya melepas pelukan, kemudian duduk kembali. Katanya, “Kembar, itulah kalimat yang aku tunggu. Aku rela mengorbankan jiwa untuk kejayaan Para Pandawa. Dari semula aku tidak berlaku masa bodoh terhadap peristiwa yang terjadi dalam perang ini. Aku tidak samar dengan siapa sejatinya yang benar dan siapa yang salah, siapa yang jujur dan siapa yang curang. Dalam hal ini, Pandawa berhak mengadili siapa yang salah dalam perang Barata ini”. Keduanya hanya menganggukkan kepala dengan lemah.

“Begini Pinten, Tangsen, mulai saat ini, uwakmu akan turun tahta. Dengarkan kata kataku, aku akan turun tahta keprabon Mandaraka”.Nakula dan Sadewa menatap mata uwaknya dengan pandangan tidak mengerti. Sejurus kemudian Prabu Salya meneruskan, “Setelah aku, uwakmu, turun tahta, seisi Kerajaan Mandaraka dengan segenap jajahan dan bawahannya, aku akan serahkan kepada kamu berdua. Mulai saat ini, kamu berdua aku wisuda sebagai Raja-raja baru di Mandaraka. Kamu berdua akan aku beri nama Prabu Nakula dan Prabu Sadewa”.


Sejenak Nakula dan Sadewa terdiam. Dengan sang uwak mengatakan hal ini, maka jelaslah bahwa Prabu Salya tidak lagi bermain dalam tata lahir. Dengan menyerahkan Negara Mandaraka, maka sudah begitu terang benderang, kesanggupannya menyerahkan nyawa di Medan Kurusetra adalah tumbuh dan terlahir dari dalam hati yang terdalam. Maka Nakula dan Sadewa yang diberi kepercayaan hanya berkata menyanggupi“Hamba, uwa Prabusemua yang uwa Prabu katakan akan hamba junjung tinggi”.


Kemudian Prabu Salya melanjutkan, “Kewajiban kamu berdua adalah; Nakula, kamu akan aku berikan tugas sebagai raja yang menangani urusan di dalam negara. Sedangkan Sadewa, kamu kuberikan kewajiban sebagai raja yang menangani urusan di luar negara. Yang saya maksudkan adalah, Sadewa, melakukan hubungan ketatanegaraan denga raja raja diluar Mandaraka. Sedangkan Nakula, lakukan penggalangan dengan raja raja jajahan yang ada dalam lingkup Negara Mandaraka”.


“ Menjadi raja itu sebenarnya tidaklah mudah tetapi juga tidak sulit. Tetapi ibarat orang yang hendak bepergian, ia haruslah membawa bekal yang cukup. Bila selayaknya orang yang bepergian dengan arti yang sebenarnya, cukuplah dengan bekal uang dan barang barang tertentu. Tetapi bila berbicara mengenai bekal bagi orang yang hendak menjadi pemimpin negara, haruslah kamu berdua memiliki sedikitnya empat hal yang harus kamu berdua kuasai”.

“Uwa Prabu, kami akan mendengarkan segala petuah yang hendak paduka berikan kepada kami berdua”, keduanya mengatakan kesanggupannya.

“Pertama, pujilah Asma yang Maha Agung atas kekuasaannya terhadap alam semesta. Mengertilah, bila kamu menjumpai sesuatu yang ada, pastilah ada yang menciptakan. Pencipta itu langgeng namun yang diciptakan akan rusak atau berganti oleh berlalunya waktu. Ikuti perubahan yang terjadi dan janganlah tetap tinggal dalam sesuatu yang tidak langgeng. Bergeraklah dalam perubahan bila tidak ingin terlindas oleh perubahan itu. Maka benarlah sebagian orang mengatakan perubahan itulah, langgeng yang sebenarnya.”.


“Kedua, lakukan tata cara bersembah, menurut tata cara yang telah digariskan atas kepercayaan masing masing. Jangan pernah memaksa tata cara dan kepercayaan lain yang sudah mereka anggap benar. Tetapi tegakkan terlebih dulu tata cara bersembah yang telah menjadi kepercayaanmu itu. Dan hendaknya kamu berdua jangan mengatur segala hal mengenai kepercayaan secara resmi dalam negara. Dengan keresmian pembentukan wadah kepercayan kepada yang Maha Tunggal oleh negara, ini akan mengakibatkan kapercayan yang telah terbentuk oleh negara akan menguasai dan bertindak sewenang wenang atas kepercayaan kelompok kepercayaan kecil yang lain. Awasi saja agar kepercayaan itu tumbuh dengan kewajaran dalam jalur yang lurus, tidak saling mengalahkan atas kebenaran menurut kepercayaan masing masing. Ciptakan kebebasan terhadap setiap pribadi dalam menentukan kepercayaan yang dipilih. Katakan kepada setiap pribadi dan golongan; jangan kalimat dalam kitab suci mereka, dipahami secara sempit, hingga mereka terkungkung oleh langit yang mereka ciptakan sendiri dari ajaran yang dianut”.


“Ketiga, pahami kebenaran sejati. Jangan pernah menyalahkan kebenaran yang dianut orang lain dan jangan menyalahkan juga kebenaran yang sudah menjadi kepercayaanmu sendiri. Bila kamu senang menyalahkan kebenaran yang dianut orang lain apalagi kelewat mengatakan kepada pihak lain, bahwa kebenaran yang paling benar adalah kebenaran yang kau anut, maka mereka yang kau katai akan kembali menyalahkan kebenaran yang kau anut. Tentu kamu sudah tahu apa akibatnya”. 


“Bila itu yang kau lakukan, maka  kamu sudah bersifat Adigang,Adigung dan Adiguna. Sifat yang dimiliki oleh watak tiga binatang, yaitu; Adigang, sifat atau watak kijang, Adigung, watak seekor gajah dan Adiguna watak ular. Kijang yang menyombongkan dirinya dengan mengandalkan kecepatan larinya. Gajah yang mengandalkan dirimya yang paling besar dan kuat sedangkan ular yang sombong mengandalkan bisa atau racunnya yang mematikan. Bila sifat itu yang kamu majukan dalam menata negara, itu seperti halnya kamu tidak akan dapat menata negara dengan berlandaskan rasa keadilan. Kedilan yang sebenar benarnya adil dan dapat dirasakan oleh orang banyak adalah, tetaplah dalam perilaku yang berlapang dada terhadap perbedaan dan mengertilah akan rasa peri kemanusiaan”. 


Nakula dan Sadewa yang mendengarkan petuah uwaknya tetap ditempat bagai terpaku pada lantai sanggar. Keduanya hanya duduk tertunduk dan mengangguk kecil bila sang uwak memandangnya meminta apakan ia memahami apa yang dikatakannya.

“Dan keempat, tetaplah selalu mencari ilmu dan pengetahuan yang selalu baru. Bisalah kamu berdua menyatukan  antara ilmu dan pengetahuan. Orang yang menguasai imu itu sebenarnya bagaikan manusia yang berjalan dalam pekat malam namun diterangi dengan sinaran yang cukup terang, atau orang yang berjalan dalam licin namun ia bertongkat. Dan ilmu itu sejatinya berkuasa mengurai sesuatu barang atau keadaan yang kusut. Ilmu itu harus kamu jalankan atas landasan budi pekerti yang luhur. Orang yang berilmu dan berpengetahuan tinggi, akan menghancurkan sesamanya bila tidak berjalan diatas landasan budi pekerti yang luhur. Sebaliknya perilaku luhur budi yang didorong oleh ilmu pengetahuan akan menciptakan tata dunia yang tentram tertib dan adil ”. 

Sampai disini Prabu Salya diam dan memandang kembali kedua kemenakannya. Yang dipandang hanya mengangguk tanda mengerti.

Lanjutnya“Sedikitnya empat hal inilah yang kamu harus penuhi ketika kamu menjadi raja.“Sekarang kembalilah. Kembalilah ke pesanggrahan Hupalawiya. Terang tanah yang sebentar lagi datang, aku sudah akan datang kembali ke medan Kurukasetra sebagai seorang senapati perang”.

“Baiklah Uwa Prabu, kami berdua undur diri, hendaklah kejadian nanti di Medan Kuru tidaklah menjadi timbulnya dosa baru bagi kami sendiri atau Para Saudara kami Pandawa nanti”. Serempak keduanya memohon diri setelah dianggap cukup semua peristiwa yang akan menentukan masa depan keduanya, uwaknya Prabu Salya serta saudaranya Para Pandawa.

“Ya, ya anakku, semoga semua akan berjalan baik. Puja keselamatan aku panjatkan kepada yang Maha Adil untuk kejayaan Para Pandawa”.

Undur diri Nakula dan Sahadewa dengan perasaan campur aduk. Kebesaran hati sang uwak telah mengusik ketidak tegaan kemenakannya. Terpikir bagaimana saudara saudaranya harus menyingkirkan rasa tega terhadap orang tua yang sebenarnya tidak condong dalam mengayomi Para Kurawa, walau uwaknya itu telah menyatakan kesanggupannya menyerahkan jiwa untuk kemenangan Para Pandawa.

Prabu Salya yang ditingalkan oleh kedua kemenakannya segera beranjak dari Sanggar Pemujaan. Ia teringat dengan kewajibannya bahwa hari ini harus segera kembali ke medan Kurukasetra. Ketika ia menengok kedalam tilam sari, dilihatnya istrinya Dewi Setyawati masih tertidur pulas memeluk guling. Termangu Prabu Salya memandang tubuh istrinya yang tergolek bagai boneka kencana. Ragu dalam hati Salya meninggalkan tempat istrinya berbaring diam dengan tarikan nafas yang teratur. Tetapi ia segera menetapkan diri akan kewajiban dan kesanggupannya terhadap menantunya, Prabu Duryudana. Tanpa membuang waktu lagi, bergegas ia berganti busana pamujan ke busana keprajuritan. Diperhatikan pusakanya seksama dengan perasaan yang tidak menentu.

Berangkatlah Prabu Salya dengan tanpa pamit dengan istrinya. Namun perasaan bersalah menghentak dalam dadanya. Ia telah meninggalkannya dengan sembunyi-sembunyi. Sepucuk surat telah ia letakkan di sisi pembaringan.

Kereta yang ditumpangi Prabu Salya yang melaju pesat di dini hari yang masih berembun. Semilir angin pagi yang menusuk tulang namun memberi kesegaran baru.  Segala yang dilalui seakan akan bergerak cepat kearah belakang bagai scene cerita yang berkeradapan bingkai demi bingkai. Gambaran masa lalu, ketika ia pertama kali ketemu dengan istri tercintanya, Setyawati. Tidaklah mengherankan bahwa masa lalu itu terlintas, kegalauan hati masih berkecamuk ketika ia meninggalkan sang istri, telah membawanya mengenang masa lalu ketika dirinya masih muda.

Bingkai gambar itu dimulai saat pertama kali tatapan mata Salya muda itu saling bertumbuk dengan sinar mata Endang Pujawati, nama muda Setyawati.

Kejadian di Pertapaan Argabelah ketika dirinya tersuruk suruk meninggalkan kerajaan Mandaraka, setelah diusir oleh ayahndanya, Prabu Mandrakesywara.

Ayahnya yang kecewa dengan perintah kepada dirinya agar segera menikah telah ditolaknya dengan halus. Permintaan itu disodorkan oleh ayahnya waktu  itu, agar ketika ayahndanya menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada putranya, maka dirinya sudah bertaut dengan seorang wanita. Namun dirinya yang waktu itu masih bernama Narasoma, mengajukan syarat, bahwa dirinya harus menikah dengan wanita yang serupa persis dengan ibunya. Ayahnya yang salah memahami permintaan dirinya akhirnya mengusir dirinya hingga terlunta lunta sampai di Pertapaan Argabelah.

Tumbukan sinar mata di pertapaan Argabelah itu telah memercikkan api dan mengobarkan asmara keduanya. Maka ketika Endang Pujawati pun  terbakar api itu, diseretnya sang ayah, Begawan Bagaspati, untuk menemui dirinya. Terperanjat dirinya waktu itu, ketika melihat ayah Pujawati yang ternyata berujud seorang raksasa. Dalam hati bergolak sebuah pertanyaan, benarkah Pujawati, wanita dengan sejuta pesona, berayah seorang pendeta raksasa? Tetapi pertanyaan ketidak mungkinan itu ditepisnya sendiri. Seketika akalnya berputar, bagaimana caranya memetik “bunga cempaka mulia indah nan mewangi, tetapi ditunggui oleh seekor buaya putih”. Apa kata ayahnya bila ia berbesan dengan seorang raksasa?!

“Pujawati, inikah satria yang kau katakan telah mempesonamu?”Begawan Bagaspati menanyakan kepada anaknya. Namun pertanyaan itu hanya basa basi saja. Dalam kenyataannya Begawan Bagaspati telah mengetahui apa yang sedang terjadi pada keduanya. Maka tanpa menunggu jawaban ayahnya, Begawan Bagaspati menanyakan kepada Narasoma.

“Raden siapakah andika sebenarnya?” Sapa Bagaspati.

“Heh Pendeta Raksasa, siapakah namamu?”, Sifat tinggi hati Salya muda tak mau kalah.

“Ooh tidak mau mengalah rupanya satria ini. Baiklah, namaku adalah Begawan Bagaspati. Sedangkan siapakah nama andika, Raden?” Tanya Bagaspati kembali.

“Akulah anak Raja Mandaraka, Prabu Mandrakesywara. Namaku Narasoma”. Kata Narasoma waktu itu dengan muka tengadah. Dirinya tak memungkiri bahwa dimasa muda, berwatak degsura. Namun dilain pihak Begawan Bagaspati seakan terhenyak. Mandrakesywara adalah salah seorang saudara seperguruannya, bertiga bersama seorang saudara seperguruan yang lain, yang bernama Begawan Bagaskara yang juga berujud seorang raksasa. Namun ia tak mengatakana sesuatau apapun. Sifat Narasoma dan alasan yang tidak bisa ia ungkapkan, menuntunnya untuk tidak mengatakan sedikitpun mengenai jati dirinya.

“Raden, perkenankan andika menyembuhkan sakit yang diderita oleh anakku ini”. Bagaspati menjelaskan.

“Lho, kamu itu seorang pendita, yang pasti memiliki segala ilmu agal alus. Tidakkah kamu dapat menyembukan penyakit anakmu sendiri?”

“Tapi penyakitnya adalah penyakit asmara, Raden. Hanya seorang yang dapat menyembuhkan penyakit itu kecuali andika Raden. Bersediakah Raden mengobati anakku?”. Bagaspati berterus terang dengan bahasa halus. Tanyanya mengharap.

Sepercik sinar telah menerangi akal pikiran Narasoma ketika itu. Terbuka kesempatan bagaimana cara melenyapkan duri yang menghalangi hubunganku dengan wanita yang menjadi pujaan hati. “Baiklah, aku mempunyai syarat agar putrimu dapat sembuh dari sakit itu. Syaratnya kamu harus menjawab teka teki dariku. Sanggupkah?”

Semakin dekat Prabu Puntadewa, semakin berdebar jantung Prabu Salya. Firasatnya mengatakan inilah saat yang ia janjikan. Namun kemudian Prabu Salya teringat kembali akan keberadaan ajiannya yang diturunkan oleh mertuanya, Begawan Bagaspati. Aji Candabirawa.

Sejurus kemudian dipusatkannya segenap rasa dalam pamuja, meloncat dari goa garba ujud mahluk bajang berwajah raksasa. Itulah Aji Candhabhirawa!
“Raden Narasoma, hendak menyuruh apa kepadaku, Raden?!” Tanya Candabirawa.

“Sekali lagi aku meminta kerjamu. Lihat didepanku, dialah musuhku, Prabu Puntadewa. Bunuh dia!” Tanpa membantah, Candabirawa segera berlalu dari hadapan Prabu Salya. Ia kemudian mengamuk sejadi jadinya kearah para prajurit pengawal Prabu Puntadewa. Sementara Prabu Puntadewa sendiri telah  rapat dijaga oleh para prajurit dan Arjuna serta Werkudara. Terkena senjata para prajurit yang terbang bagaikan gerimis yang tercurah dari langit, Candabirawa membelah diri. Menjadi sepuluh, seratus, seribu dan tanpa hitungan lagi yang dapat terlihat. Geger para prajurit Hupalawiya lari salang tunjang melihat kejadian disekelilingnya yang begitu nggegirisi. Kresna segera bertindak menghentikan rangsekan musuh dalam ujud mahluk kerdil yang begitu menyeramkan itu. Perintah Kresna untuk bertindak tanpa melawan amukan Candabirawa disebarkan ke seluruh prajurit yang segera menyingkir.

Ketika serangan berhenti, maka para mahluk kerdil itupun ikut terhenti, saling berpandang dan termangu mangu sejenak. Sebagian lagi larut menjadi semakin sedikit. Tetapi tak lama kemudian mereka bergerak kembali kearah dimana Prabu Puntadewa berada. Ketika sudah dekat jarak antara para manusia kerdil itu, tiba-tiba gerombolan itu berhenti mendadak. Mereka kemudian saling berbisik. “Heh teman temanku semua, kita sudah memperbanyak diri. Tapi begitu aku melihat ke arah Prabu Puntadewa, kelihatan olehku disitu bersemayam sesembahanku yang lama, Begawan Bagaspati. Teman, kita telah lama merasakan lapar dan capek ikut Prabu Salya yang kurang memperhatikan kita, terbawa oleh kesenangan yang ia jalankan sehari hari. Prabu Salya kebanyakan bersuka ria dari pada melakukan olah penyucian diri. Akan lebih baik bila kita ikut kepada sesembahan kita yang lama! Mari kawan semua, kita kembali ke haribaan Begawan Bagaspati”.


Bagai arus bah mengalir, para mahluk kerdil berwajah raksasa segera larut dalam raga Prabu Puntadewa. Peristiwa ajaib yang dilihat Prabu Salya membuatnya jantung Prabu Salya semakin berdebar. Guncang moral Prabu Salya, hingga terasa menyentuh dasar jantungnya yang terdalam. Semakin yakin ia bahwa saat yang djanjikannya telah tiba.

Prabu Puntadewa telah bersiap melepaskan panah dengan pusaka Jamus Kalimasadda yang disangkutkan pada bedhor anak panah. Busur telah terpegang pada tangan kirinya dan terutama ketetapan hati telah diambil. Tak akan menjadi dosa bila Batara Wisnu yang memerintahkan membunuh musuh.

Walau Prabu Puntadewa tidak sesering para saudaranya berolah warastra, tetapi sejatinya ia adalah salah satu murid Sokalima yang tidak jauh kemampuan olah senjata panah dibanding dengan Arjuna. Sebagaimana Arjuna yang mempunyai hati lebih tegar, maka Puntadewa sejatinya adalah pemanah jitu, baik menuju sasaran diam setipis rambut maupun sasaran bergerak secepat burung sikatan. Hatinya yang suci dan cenderung peragu-lah yang membuat ia tidak seterkenal adiknya, Arjuna, dalam olah warastra.



Maka ketika anak panah meluncur dari busurnya, tidaklah ia melakukannya untuk kedua kali. Sekali ia melepaskan anak panah kearah Prabu Salya, maka menancaplah anak panah itu kedada bidang Prabu Salya. Kulit Salya yang kebal terhadap berbagai macam senjata telah terpecah, rebah Prabu Salya!
Sakit di dada Prabu Salya tak terasakan, hanya kepuasan hati yang terasa ketika ia telah menyender di bangkai gajah. Ia telah memenuhi janji terhadap kemenakannya, Nakula dan Sadewa. Janji itu telah terlaksana dengan sempurna. Senyum lemah di bibir Prabu Salya ketika menarik nafas dan menghembuskannya untuk terakhir kalinya.

Seketika perang berhenti. Prabu Punta yang tidak lagi ingin melihat tumpahnya darah segera memberi aba aba kembali ke pakuwon, sedangkan prajurit Kurawa dengan sendirinya telah mundur mencari pembesar yang sekiranya masih bisa menaungi.

Hanya Patih Sengkuni yang merasa telah putus asa telah berbuat nekad. Kenyataan yang begitu pahit seakan tidak dapat diterimanya dengan akal sehatnya. Kurawa seratus dengan bantuan begitu banyak raja seberang, telah tumpas oleh krida Para Pandawa.  Dengan sesumbarnya yang mengesankan sebagai manusia yang telah kehilangan asa, ia gentayangan mengincar kematian Para Pandawa.

Patih Sengkuni adalah seseorang yang sejak kelahirannya telah ditakdirkan membawa watak culas. Kelahirannya ditandai dengan terusirnya seorang dewa dari pusat Kahyangan, Paparjawarna. Dewa yang memang memangku sifat culas yaitu Batara Dwapara. Terusirnya Batara Dwapara itu bersamaan dengan lahirnya Harya Suman, nama kecil dari Sengkuni atau Sakuni.

Putra Prabu Gandara itu telah disusupi oleh Batara Dwapara yang diperbolehkan oleh Sang Hyang Wenang untuk menitis kepada seorang anak manusia yang tertakdir sebagai tukang memanasi suasana. Maka sepanjang hidupnya, ia telah berlaku mengipas segala bentuk bara angkara sekecil apapun menjadi berkobar liar menyambar-nyambar.

Dengan tidak lebih duapuluh Kurawa yang tersisa, Harya Sengkuni mengamuk menarik perhatian Prabu Kresna dan Werkudara yang masih saja siaga menghadapi suasana yang mungkin saja terjadi.

“Werkudara! Lihat Sangkuni mengamuk! Jangan dikira ia yang bertubuh bungkuk dan lemah, dapat kamu kalahkan dengan segenap kekuatan tenagamu. Tetapi sebenarnyalah  ia adalah seorang yang kebal senjata. Tetapi otakmu harus kau gunakan juga. Mungkin kamu dulu sudah ketahui, bahwa ia telah berlumurkan minyak Tala ketika cupu berisi minyak Tala peninggalan orang tuamu Prabu Pandu menjadi rebutan dan jatuh ke sumur dalam. Ketika itu Pendita Kumbayana telah berhasil mengangkat cupu itu, tetapi karena masih jadi rebutan dan minyak Tala itupun tumpah. Sangkuni telah melumuri dirinya dengan minyak Tala dengan bergulingan diatas tumpahan minyak. Tetapi ada yang terlewat, yaitu bagian duburnya. Bagian itulah yang kamu dapat jadikan sasaran awal untuk menyobek kulit dagingnya!”

Melompat Werkudara tidak sabar untuk menyelesaikan tugas di ujung sore itu. Didekati Sangkuni yang terbungkuk bungkuk sesumbar maciya ciya tanpa memperhatikan sekelilingnya. Ilmu kebalnya telah membuat ia bagaikan tak ada yang bisa mengalahkannya. Lengah Arya Suman!

Dan sejumlah Kurawa yang mencoba menghadang menjadi sasaran amukan Werkudara. Mereka bagaikan laron yang masuk kedalam kobaran api. Tumpas Kurawa yang menghadang.

“Hayoh keparat Pandawa! Maju kemari bila masih bernyali melawan Harya Suman . . . . !” Belum habis kata kata Sangkuni, Werkudara telah menyambar tubuh lawannya  yang memang tidak lagi gesit setelah raganya dirusak oleh Patih Gandamana. Patih Astina ketika Prabu Pandu Dewanata bertahta.

Pundak Harya Sangkuni dipegang erat, kemudian diangkat kakinya sehingga ia terbalik. Sejurus kemudian kuku Pancanaka Werkudara telah mendarat di sela sela bokong Sengkuni. Sementara kaki Werkudara telah menahan salah satu kaki Sengkuni yang satu lagi. Belah raga Sengkuni dengan jerit mengiring kematiannya.

“Werkudara, belum cukup kamu menangani raga Sengkuni. Ingat sumpah ibumu, Kunti, ketika ia telah dilecehkan olehnya, sehingga kemben ibumu melorot dan menjadi tontonan dan sorakan orang-orang Kurawa. Ketika itu ibumu bersumpah, tak akan berkemben bila tidak menggunakan kulit dari Patih Sengkuni yang telah mempermalukannya. Kuliti sekalian dinda!”

Senja telah menjelang usai gugurnya sang senapati utama, Prabu Salya. Layung senja oleh terbawa awan mendung melayang menyorotkan cahaya jingga, ketika Dewi Setyawati telah sampai di medan Kurukasetra. Berdua dengan Endang Sugandini, Dewi Satyawati seakan berenang dalam genangan darah. Sebentar sebentar ia membolak balik jenazah yang terkapar, mencari cari jangan jangan jenazah itu adalah sang suami. Sementara mendung makin tebal terkadang seleret petir menyambar menerangi walau sesaat sosok demi sosok  yang ia perkirakan adalah raga Prabu Salya.

Ketika untuk kesekian kali kilat menerangi medan perang itu, Dewi Setyawati tak lagi ragu terhadap sosok yang ia perkirakan sebagai jenazah suaminya. Menjerit Dewi Setyawati memanggil nama suaminya. Dipeluk sosok yang belum lagi kering darah didadanya. “Kanda Prabu, paduka telah meninggalkan hamba. Paduka gugur sebagai tawur perang ini. Walau paduka telah tidak lagi bernyawa, namun sikap tubuh dalam gugur paduka, seakan akan melambai mengajak hamba turut serta”. Sejenak Setyawati menciumi jenazah suaminya yang sudah semakin dingin. Ditetapkannya hatinya untuk menyusul kematian suami tercintanya, “ Marilah kanda, ajakan kanda untuk pergi bersama seperti yang Paduka ucapkan semalam, tak kan kuasa hamba tolak”. Segera diraih cundrik, sejenis keris kecil yang terselip di pinggang Dewi Setyawati, tewas Sang Dewi menyusul kekasih hatinya. Sementara Begawan Bagaspati dengan senyum menjemput dan menggandeng anak dan menantunya menapaki keabadian.

Endang Sugandini yang sama sama mencari jenazah Prabu Salya tak jauh dari Dewi Setyawati segera datang menghampiri, ketika mendengar jerit saudara sekaligus temannya karibnya. Melihat Prabu Salya dan Dewi Setyawati yang keduanya saling berpeluk, terpekik. Tanpa pikir panjang segera ia juga melepas cundrik yang menancap di dada Dewi Setyawati, kemudian menyusul Salya dan Setyawati.

Sepi menguak di Kurukasetra setelah peristiwa itu. Awan mendung yang menggantung telah berubah menjadi hujan yang demikian lebat. Air hujan itu seakan telah mensucikan ketiga raga manusia yang memiliki kesetiaan tanpa cela.

Me

Post a Comment

Semua umpan balik saya hargai dan saya akan membalas pertanyaan yang menyangkut artikel di Blog ini sesegera mungkin.

1. Komentar SPAM akan dihapus segera setelah saya review
2. Jika ada Link Download rusak silahkan komentar dibawah ini
3. Jika Anda memiliki masalah silahkan bertanya di papan komentar
4. Silahkan menyertakan link artikel ini yang mau share ke blog Anda .

Credits