Memperingati ulang tahun saya
kira sudah sangat lazim dilakukan oleh umat islam sekarang, setidaknya setelah
berkembangnya dunia internet dan social networking. Tak
dapat dipungkiri peran internet dan social networking dalam
menyebarkan budaya ulang tahun ini. Dulu sebelum booming facebook dan
kita lebih banyak bergaul dengan teman di dunia nyata, kita mungkin masih
banyak yang tidak merayakan ulang tahun. Namun kini dengan adanya facebook kita lebih banyak bergaul
dengan teman di dunia maya dan facebook menyediakan
fitur untuk mengingatkan hari ulang tahun teman kita tersebut. Jadilah budaya
ulang tahun menjadi sangat booming saat ini.
Sejarah
Ulang tahun pertama kali dimulai
di Eropa. Perayaan ultah pada waktu itu dimaksudkan untuk mengusir roh-roh
jahat yang akan datang pada orang yang berulang tahun dan para tamu undangan
seperti teman atau keluarga berdoa untuk mengusir roh jahat tersebut.
Memberikan kado juga dipercaya dapat mengusir roh jahat tersebut.
Merayakan ulang tahun sudah
dilakuakan sejak dulu. Orang-orang jaman dahulu tidak mengetahui dengan pasti
hari kelahiran mereka, karena waktu itu mereka menggunakan tanda waktu dari
pergantian bulan dan musim. Sejalan dengan peradaban manusia, diciptakanlah
kalender. Kalender memudahkan manusia untuk mengingat dan merayakan hal-hal
penting setiap tahunnya, dan ulang tahun merupakan salah satunya.
Pada saat agama nasrani lahir,
ulang tahun dijadikan kebudayaan orang nasrani. Selebihnya tentang sejarah
ulang tahun atau sejarah perayaan-perayaan lainnya, teman-teman bisa kaji di
buku Parasit Akidah karangan ust. A.D. El Marzdedeq. Saya sudah tulis sedikit
ulasan buku itu di tulisan lain di blog ini
Hukum
Ada dua hal tentang perayaan
ulang tahun ini, yang menjerumus kepada hal ibadah atau adat istiadat. Jika hal
itu dimaksudkan tentang ibadah maka jelas itu adalah perbuatan bid’ah.
“…Hendaklah kamu berhati –
hati terhadap perkara yang diada – adakan, karena setiap yang diada – adakan
itu bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat”. (HR. Ahmad)
“..Sesungguhnya sebaik-baik
perkataan ialah kitab Allah, dan sebaik – baik petunjuk ialah petunjuk
Muhammad, sejelek – jeleknya urusan adalah perbuatan bid’ah, setiap bid’ah
adalah sesat”. (HR Muslim)
..dan yang sesat itu tempatnya di neraka.
Tapi jika dimaksudkan dengan Adat
Istiadat saja, hal itu mengandung dua sisi larangan.
Yang pertama, menjadikan sebagai
salah satu hari raya. Tindakan ini berarti suatu kelancangan terhadap Allah dan
Rasulnya, dimana kita mentapkan sebagai ‘Ied (Hari Raya) dalam islam, padahal
Allah dan Rasulnya tidak pernah menjadikannya sebagai hari raya. Perayaan
dalam islam terbagi menjadi 3, yang pertama Iedul Fitri yang kedua Iedul Adha
dan yang terakhir setiap hari jum’at.
Yang kedua, mengandung usur tasyabbuh (meniru niru). Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, ulang tahun ini selalu dirayakan oleh umat nasrani.
Mereka melakukannya dengan cara tiup lilin dan potong kue sambil bernyanyi
diiringi tepuk tangan bahkan sambil joget-joget.
Perhatikanlah hadits berikut ini:
“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia
termasuk bagian dari mereka“
(HR. Ahmad & Abu Daud)
Kiranya para ulama itu memandang bahwa
perayaan ulang tahun itu identik dengan perilaku orang-orang kafir. Sehingga
mereka mengharamkan umat Islam untuk merayakannya secara ikut-ikutan.
Selain itu, oleh sebagian ulama, seringkali acara ulang tahun disertai dengan banyak kemaksiatan. Seperti minuman keras, pesta musik, joget, dansa, campur baur laki-laki dan wanita. Bahkan banyak yang sampai meninggalkan shalat dan kewajiban lainnya. Seringkali juga pesta-pesta itu sampai melupakan niat utama, tergantikan dengan semangat ingin pamer dan menonjolkan kekayaan. Sehingga menimbulkan sifat riya’ dan sum’ah pada penyelenggaranya.
Yang Cenderung Membolehkan
Adapun sebagian lainnya dari para ulama, mereka cenderung membolehkan ulang tahun. Dengan landasan dasar bahwa ulang tahun bukanlah ibadah ritual. Sehingga selama tidak ada larangannya yang secara langsung disebutkan di dalam nash Quran atau sunnah, hukum asalnya adalah boleh. Sesuai dengan kaidah al-ashlu fil asy-yaa’i al-ibahah. Bahwa kaidah dasar dari masalah muamalahadalah kebolehan, selama tidak ada nash yang secara tegas melarangnya.
Adapun alasan peniruan orang kafir, dijawab dengan argumen bahwa tidak semua yang dilakukan oleh orang kafir haram dikerjakan. Hanya yang terkait dengan peribadatan saja yang haram, adapun yang terkait dengan muamalah, selama tidak ada nash yang langsung melarangnya, hukumnya tidak apa-apa bila kebetulan terjadi kesamaan.
Misalnya, kebiasaan pesta pasca panen di suatu negeri yang masih kafir. Apakah bila ada kebiasaan yang sama di suatu negeri muslim, dianggap sebagai bentuk peniruan? Tentu tidak, sebab hal itu dipandang sebagai ‘urf yang lazim, tidak ada kaitannya dengan wilayah kekufuran atau kebatilan.
Para ulama dari kelompok ini cenderung menetapkan ‘illat haramnya peniruan pada orang kafir berdasarkan titik keharamannya. Bukan semata-mata dilakukan oleh mereka. Misalnya, kebiasaan orang kafir memberikan sesaji kepada gunung yang mau meletus, maka hukumnya haram bagi muslimin untuk melakukannya.
Adapun bila ada nash secara langsung dari Rasulullah SAW untuk tidak meniru suatu perbuatan tertentu, maka wajib bagi tiap muslim untuk mengikuti perintah beliau. Misalnya, larangan Rasulullah SAW bagi umat Islam untuk mencukur jenggot dan memelihara kumis, sebab dianggap menyerupai orang kafir. Maka larangan itu tetap berlaku, meski pun orang kafir sendiri telah merubah kebiasaannya.
Beberapa Pertimbangan
Bila kita ingin meletakkan hukum merayakan ulang tahun, kita harus membahas dari tujuan dan manfaat yang akan didapat. Apakah ada di antara tujuan yang ingin dicapai itu sesuatu yang penting dalam hidup ini? Atau sekedar penghamburan uang? Atau sekedar ikut-ikutan tradisi?
Yang kedua, apa manfaat acara seperti itu? Adakah sesuatu yang menambah iman, ilmu dan amal? Atau menambah manfaat baik pribadi, sosial atau lainnya?
Yang ketiga, adakah dalam pelaksanaan acara seperti itu maksiat dan dosa yang dilanggar?
Yang keempat, bila ternyata semua jawaban di atas positif, dan acara seperti itu menjdi tradisi, apakah tidak akan menimbulkan salah paham pada generasi berikut seolah-olah acara seperti ini harus dilakukan? Hal ini seperti yang terjadi pada upacara peringat hari besar Islam baik itu kelahiran, isra` mi`raj dan sebagainya.
Jangan sampai dikemudian hari, lahir generasi yang menganggap perayaan ulang tahun adalah sesuatu yang harus terlaksana. Bila memang demikian, bukankah kita telah kehilangan makna?
Selain itu, oleh sebagian ulama, seringkali acara ulang tahun disertai dengan banyak kemaksiatan. Seperti minuman keras, pesta musik, joget, dansa, campur baur laki-laki dan wanita. Bahkan banyak yang sampai meninggalkan shalat dan kewajiban lainnya. Seringkali juga pesta-pesta itu sampai melupakan niat utama, tergantikan dengan semangat ingin pamer dan menonjolkan kekayaan. Sehingga menimbulkan sifat riya’ dan sum’ah pada penyelenggaranya.
Yang Cenderung Membolehkan
Adapun sebagian lainnya dari para ulama, mereka cenderung membolehkan ulang tahun. Dengan landasan dasar bahwa ulang tahun bukanlah ibadah ritual. Sehingga selama tidak ada larangannya yang secara langsung disebutkan di dalam nash Quran atau sunnah, hukum asalnya adalah boleh. Sesuai dengan kaidah al-ashlu fil asy-yaa’i al-ibahah. Bahwa kaidah dasar dari masalah muamalahadalah kebolehan, selama tidak ada nash yang secara tegas melarangnya.
Adapun alasan peniruan orang kafir, dijawab dengan argumen bahwa tidak semua yang dilakukan oleh orang kafir haram dikerjakan. Hanya yang terkait dengan peribadatan saja yang haram, adapun yang terkait dengan muamalah, selama tidak ada nash yang langsung melarangnya, hukumnya tidak apa-apa bila kebetulan terjadi kesamaan.
Misalnya, kebiasaan pesta pasca panen di suatu negeri yang masih kafir. Apakah bila ada kebiasaan yang sama di suatu negeri muslim, dianggap sebagai bentuk peniruan? Tentu tidak, sebab hal itu dipandang sebagai ‘urf yang lazim, tidak ada kaitannya dengan wilayah kekufuran atau kebatilan.
Para ulama dari kelompok ini cenderung menetapkan ‘illat haramnya peniruan pada orang kafir berdasarkan titik keharamannya. Bukan semata-mata dilakukan oleh mereka. Misalnya, kebiasaan orang kafir memberikan sesaji kepada gunung yang mau meletus, maka hukumnya haram bagi muslimin untuk melakukannya.
Adapun bila ada nash secara langsung dari Rasulullah SAW untuk tidak meniru suatu perbuatan tertentu, maka wajib bagi tiap muslim untuk mengikuti perintah beliau. Misalnya, larangan Rasulullah SAW bagi umat Islam untuk mencukur jenggot dan memelihara kumis, sebab dianggap menyerupai orang kafir. Maka larangan itu tetap berlaku, meski pun orang kafir sendiri telah merubah kebiasaannya.
Beberapa Pertimbangan
Bila kita ingin meletakkan hukum merayakan ulang tahun, kita harus membahas dari tujuan dan manfaat yang akan didapat. Apakah ada di antara tujuan yang ingin dicapai itu sesuatu yang penting dalam hidup ini? Atau sekedar penghamburan uang? Atau sekedar ikut-ikutan tradisi?
Yang kedua, apa manfaat acara seperti itu? Adakah sesuatu yang menambah iman, ilmu dan amal? Atau menambah manfaat baik pribadi, sosial atau lainnya?
Yang ketiga, adakah dalam pelaksanaan acara seperti itu maksiat dan dosa yang dilanggar?
Yang keempat, bila ternyata semua jawaban di atas positif, dan acara seperti itu menjdi tradisi, apakah tidak akan menimbulkan salah paham pada generasi berikut seolah-olah acara seperti ini harus dilakukan? Hal ini seperti yang terjadi pada upacara peringat hari besar Islam baik itu kelahiran, isra` mi`raj dan sebagainya.
Jangan sampai dikemudian hari, lahir generasi yang menganggap perayaan ulang tahun adalah sesuatu yang harus terlaksana. Bila memang demikian, bukankah kita telah kehilangan makna?
Post a Comment
Semua umpan balik saya hargai dan saya akan membalas pertanyaan yang menyangkut artikel di Blog ini sesegera mungkin.
1. Komentar SPAM akan dihapus segera setelah saya review
2. Jika ada Link Download rusak silahkan komentar dibawah ini
3. Jika Anda memiliki masalah silahkan bertanya di papan komentar
4. Silahkan menyertakan link artikel ini yang mau share ke blog Anda .